Perkembangan mata uang di Indonesia telah mengalami transformasi yang pesat hingga ke mata uang yang sekarang kita pakai sebagai alat untuk jual beli. Bahkan, fenomena mata uang digital, yaitu kripto juga menjadi trending topik di Indonesia dan dimiliki oleh beberapa masyarakat indonesia, mulai dari kalangan pengusaha sampai pada kalangan masyarakat biasa untuk dijadikan alat transaksi perdagangan internasional atau bahkan dijadikan sebagai bentuk investasi jangka panjang. Transformasi yang terjadi merupakan sebuah fenomena yang tak dapat dielakkan dari sejarah transaksi yang awal mulanya dilakukan dengan cara barter sampai munculnya kesepakatan untuk menggunakan jenis mata uang tertentu.
Pembahasan kali ini bukanlah persoalan barter maupun perkembangan mata uang kripto, melainkan kita mundur ke ratusan tahun belakang dengan membahas perkembangan mata uang koin pada masa Hindia Belanda. Pada awal abad ke-17, Belanda melangkah ke Nusantara, membawa perubahan besar termasuk dalam sistem mata uang. Dari Dukaton Belanda hingga Gulden Hindia Belanda, perjalanan uang ini mencerminkan interaksi kompleks antara Belanda dan Indonesia. Indonesia, dengan sejarah panjangnya, menyimpan jejak-jejak koin sebagai saksi bisu perjalanan budaya, ekonomi, dan politiknya. Fokus kita kali ini adalah pada masa Hindia Belanda, di mana uang koin bukan hanya sebuah alat transaksi, tetapi juga wujud dari pertemuan dan perbedaan antara budaya Belanda dan Indonesia dalam konteks konvergensi dan divergensi.
Perkembangan Uang Koin Pada Masa Hindia Belanda
Sebelum masuk pada penjelasan bagaimana konvergensi dan divergensi antar budaya dapat dikaitkan dengan sejarah Perkembangan Uang Koin Pada Masa Hindia Belanda, mari simak terlebih dulu penjelasan mengenai Perkembangan Uang Koin Pada Masa Hindia Belanda berikut.
- Mata Uang Dukaton Belanda tahun 1602 sampai 1729Pada tanggal 20 Maret 1602, Belanda memulai dominasinya di Nusantara sebagai respons terhadap penggunaan real Spanyol yang sangat mendominasi. VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie) memanfaatkan kesempatan ini dengan meminta izin kepada Heeren XVII untuk mencetak uang mereka sendiri, menggantikan real Spanyol. Mata uang yang mereka cetak disebut dukaton dan terbuat dari perak murni. Penggunaan dukaton berlangsung dari tahun 1602 hingga 1729.
Dukaton, yang awalnya mirip dengan real Spanyol, segera digantikan oleh uang duit VOC yang terbuat dari timah hitam. Pergantian ini dilakukan karena mencetak uang dari timah hitam lebih ekonomis, memungkinkan VOC untuk mencetak lebih banyak uang dan memperlancar kegiatan ekonomi di wilayah tersebut. Uang Rijsdaalder dan Doit VOC kemudian menggantikan dukaton atau real Belanda, mencerminkan perubahan dalam kebijakan mata uang yang dilakukan oleh VOC untuk memperkuat posisinya dalam perekonomian Nusantara.
- Mata Uang Doit VOC (1726-1799)
Pada tahun 1726, setelah VOC memperoleh hak Oktroi, mereka mulai mencetak uang dalam bentuk doit sebagai mata uang kecil dengan nominal satu, dua, dan lima doit. Pecahan yang lebih besar menggunakan mata uang stuiver. Awalnya, uang VOC menggunakan bahasa Arab karena masyarakat di wilayah tersebut, terutama pekerja buruh, hanya memahami bahasa Arab daripada bahasa Latin. Uang perak ini memiliki tulisan "Ila Djazira djawa al kabir" di bagian depan dan "Derham Min Kompani Welandawi" di bagian belakang, dicetak dari 1726 hingga 1770.
Bahasa Arab digunakan untuk menarik minat masyarakat, dan uang ini dicetak dalam jumlah besar untuk mendukung perekonomian VOC di Nusantara. Mulai tahun 1730, uang VOC beralih ke bahan timah hitam. Sistem uang VOC adalah bagian dari transformasi ekonomi di mana masyarakat jelata beralih dari sistem barter ke penggunaan uang dalam transaksi. Pada tahun 1730, juga dicetak uang tembaga dengan pecahan setengah doit untuk memenuhi kebutuhan uang dengan nilai nominal yang lebih kecil. Uang ini digunakan dari 1726 hingga keruntuhan VOC pada 31 Desember 1799.
- Mata Uang Bonk Stuiver Darurat VOC (1800-1890)
Seiring dengan mendekati bubarnya VOC antara tahun 1796 dan 1797 karena kesulitan keuangan, terutama terkait mata uang kecil, kolonial Belanda merespons dengan menciptakan uang darurat stuiver VOC. Mata uang ini terbuat dari potongan tembaga yang diimpor dari Jepang, dipotong, kemudian ditandai dengan tahun dan lambang VOC. Berat uang ini disesuaikan dengan nilai nominalnya, mencakup pecahan 1/4, 1/2, 1, 2 stuiver. Sedangkan uang dengan nominal 4, 3/4, dan 8 stuiver dicetak dalam bentuk memanjang. Nilai 1 stuiver setara dengan empat doit, dan informasi nilai serta tahun pembuatannya dicetak pada uang tersebut.
Pada awal pemerintahan Gubernur Jenderal Daendels, uang ini juga dicetak. Namun, karena banyak pemalsuan, pemerintah Belanda mengambil kebijakan untuk mengurangi peredaran uang bonk dengan cara meleburnya dan menggunakan hasilnya untuk mencetak uang baru. Akibatnya, nilai per keping uang bonk menjadi sangat tinggi, bahkan mencapai jutaan rupiah per kepingnya. VOC akhirnya runtuh pada 31 Desember 1799.