Desakan atas pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) kembali mencuat sekitar bulan November- Desember 2018, setelah kasus Agni dan Nuril muncul di permukaan. Media massa dikawal berbagai LSM, komunitas, aktivis HAM dan perempuan bersatu menuntut keadilan bagi Agni dan Nuril. Lebih dari sepekan media hangat memberitakan kasus ini. Dari kacamata penulis pribadi hal ini satu gerakan reaktif, belum terjadi secara massif dan berkesinambungan.
Tanpa adanya kasus Nuril dan Agni pun, aslinya merujuk data dari Komnas Perempuan, kondisi Indonesia darurat kekerasan seksual sejak tahun 2012. Namun belum ada aksi nyata dari pemerintah bertindak menyelesaikan kasus kekerasan seksual, terutama di bidang regulasinya.
Sejak jauh-jauh hari Komnas Perempuan dan jajaran aktivis perempuan, terus mendesak adanya payung hukum terhadap penghapusan kekerasan seksual.
Namun, gerakan ini seolah kurang didengar pihak birokrasi. Gerakan-gerakan aktivis berhenti di tataran aksi turun jalan, terkadang lebih ke arah sporadis dan temporal. Baru setelah ada kasus besar, misal kasus Agni dan Nuril, para aktivis dan jajaran organisasi perempuan seolah mendapat amunisi baru. Mereka lantang dan keras menyuarakan keadilan, media pun mengawalnya. Sejurus mata kamera dan reportase mendalam mem-blow up kasus Agni dan Nuril.
Kondisi ini menguatkan perjuangan hak dan keadilan perempuan, massif dan reaktifnya aksi ini birokrasi mulai melirik. Satu dua pernyataan birokrasi terlontar dari beberapa fraksi DPR. Lantas penulis bertanya kenapa harus ada korban dulu baru viral? Kenapa harus ada korban dulu, baru media ramai-ramai memberitakan?
Sangat rawan sekali, dan ini yang sangat disayangkan penulis. Kalau kasus kekerasan seksual hanya menjadi isu komoditas semata. Boom! Lantang! Lalu hilang. Kasus kekerasan seksual dan perjuangan keadilannya adalah tanggung jawab bersama.
Bukan hanya tugas para LSM dan organisasi perempuan semata. Dan media, jangan sampai terperosok menjadikan kasus ini sebagai komoditas yang seksis menarik rating pembaca, tapi lebih dari itu sesuai marwah media berfungsi sebagai social of change, turut mengawal perjuangan bersama hingga "goal" dalam pengesahannya menjadi undang-undang oleh DPR.
Data Kekerasan Seksual
Penulis mengutip dari data Komnas Perempuan, tercatat selama 11 tahun (2001-2012) setidaknya ada 35 perempuan menjadi korban kekerasan seksual setiap hari. Pada tahun 2012, setidaknya telah tercatat 4.336 kasus kekerasan seksual, di mana 2.930 kasus terjadi di ranah publik/komunitas. Mayoritas bentuknya adalah pemerkosaan dan pencabulan (1.620). sedangkan pada tahun 2013 meningkat menjadi 5.629 kasus. Usia korban antara 13-18 tahun dan 25-40 tahun.
Peliknya pengungkapan dan penyelesaian kasus kekerasan seksual dikarenakan faktor kesucian moralitas masyarakat. Perempuan masih dipandang simbol kehormatan. Ketika terjadi kasus pelecehan seksual, lantas menodai kesucian itu. Masyarakat terjebak pandangan naif, lebih baik menutup kasus pelecehan seksual daripada menyelesaikannya. Jalan keluar yang keliru ini diambil oleh korban, keluarga dan masyarakat lingkungan korban.
Komnas perempuan merangkum 15 bentuk kekerasan seksual yang dirangkum dari berbagai sumber :
Perkosaan
Intimidasi seksual termasuk ancaman atau percobaan perkosaan
Pelecehan seksual
Eksploitasi seksual
Perdagangan perempuan untuk untuk tujuan seksual
Prostitusi paksa
Perbudakan seksual
Pemaksaan perkawinan termasuk cerai gantung
Pemaksaan kehamilan
Pemaksaan aborsi
Pemaksaan kontrasepsi dan sterilisasi
Penyiksaan seksual
Penghukuman tidak manusiawi dan bernuansa seksual
Praktik tradisi yang bernuansa seksual yang membahayakan dan mendiskriminasi perempuan
Kontrol seksual, termasuk lewat aturan diskriminatif beralasan moralitas dan agama