Weekend kali ini saya memutuskan meninggalkan jurnal dan komputer sejenak untuk mengetahui apa yang ada dibalik kota London. Sebagai ibu kota negara, tentu saja kota ini sangat ramai selayaknya Jakarta. Saya tidak pernah berpikir akan melihat kemacetan setiba di salah satu kota di Inggris, tapi ternyata di London macet juga terjadi, meski tidak separah Jakarta tentu saja. Transportasi publik padat merayap di jalanan meski tube underground juga sangat diminati karena ketepatan waktu nya yang luar biasa.
Setiba di London Jumat sore saya menemani seorang teman untuk mencari salah satu bank produk Indonesia yang kantor cabangnya ada di sini. Menggunakan google maps sebagai sahabat setia, kami memutuskan menyusuri kota besar ini dengan berjalan kaki terlebih dahulu, memetakan perjalanan istilahnya agar besok bisa menjelajah tanpa harus kesasar. Setelah lebih dari satu jam berjalan kaki, kami menemukan bank tersebut, namun sayang sekali masalah teman saya tidak dapat diselesaikan.
Alasan sang penjaga (entah teller entah customer service tersebut) juga kurang jelas menurut saya. Jadilah kami akhirnya melanjutkan perjalanan menuju kampus UCL (University College London) menemui sang tuan rumah yang menawarkan penginapan gratis. Setelah menunggu di depan salah satu fakultas, ah ya kampus ini terpisah-pisah, tidak seperti University of Birmingham yang berada dalam satu halaman untuk semua gedung. Ada banyak cerita selama kurang lebih tiga hari menghabiskan waktu disini.
Mandi Hujan di London
Tidak pernah menduga dan juga tidak memeriksa sebelumnya bahwa cuaca di London di Sabtu ini akan hujan sepanjang hari, dari pagi sampai malam. Sempat menarik napas panjang, aghhhh how come? Bagaimana caranya menjelajah di tengah rintik hujan? Tapi akhirnya kami memutuskan untuk tetap pada rencana awal, menuju Big Ben.
Dengan harapan akan sepi pengunjung karena cuaca yang kurang mendukung, kami berangkat menuju underground station ke arah jam gadangnya negara Ratu Elizabeth ini. Setiba disana, kami benar-benar salah duga, hujan tak membuat tempat ini sepi, ada banyak sekali pengunjung dari segala penjuru, ada yang menggunakan payung, jas hujan atau seperti kami berlari-lari tapi tetap semangat mengamati sambil sesekali mengambil foto sebagai tanda pernah kesana. Oh ya, semangat ke ikon kota ini disebabkan oleh berita yang mengabarkan bahwa tidak lama lagi Big Ben akan di renovasi sehingga selama tiga tahun ke depan akan ditutup, jadilah kami mengatakan "this is a must visit right now, or never".
Tiga tahun lagi, kita sudah pergi dari sini. Dan iya, beberapa bagian dari gedung ini sudah dilakukan renovasi dan ditutup. Tidak hanya Big Ben bisa ditemukan di wilayah ini, ada Westminster Abbey yang selalu dikenang setelah menjadi saksi pernikahan Pangeran Willian dan Kate Middleton. Kemudian ada London Eye yang sebenarnya cukup jauh, tapi terlihat sangat menarik dipisahkan oleh Sungai Thames. Selain tempat-tempat tersebut ada banyak taman yang tidak sempat kami singgahi karena derasnya hujan yang mengguyur. Setelah berpose sana sini, kami memutuskan mencari tempat minum kopi untuk mengusir dingin yang luar biasa.
Sekilas soal trasportasi publik di London yang awalnya agak membingungkan karena berbeda dari Birmie. Disini semua kendaraan publik menerima kartu yang disebut "Oyster Card" sebagai alat pembayaran. Jadi kita tidak bisa menggunakan uang, melainkan mengisi kartu tersebut dengan semacam pulsa. Pembuatan oyster untuk pengunjung bisa dilakukan di "visitor centre" di stasiun besar atau di mesin-mesin yang tersedia. Jadi setiap mau naik bus atau underground tube, oyster lah yang jadi andalan. Terdengar seperti saus tiram bukan?
Hehe tiram yang sangat mahal. Pembuatan kartu dikenakan 5 Pounds, kemudian untuk pengisian pulsanya terserah pada yang bersangkutan. Dan lagi, jalur bus di London menggunakan zona-zona yang saya masih belum paham maksudnya. Intinya dari UCL ke arah Greenwich kami harus naik kereta underground dengan dua jalur berbeda, kemudian dilanjutkan bus 2 kali pula. Di hari kedua saya mulai paham cara menggunakan kereta underground dan juga cara mengganti jalur di tengah jalan semacam commuter line di Jakarta.
Setelah beristirahat sejenak, teman saya harus pergi ke tempat lain sehingga saya meneruskan pencarian jejak Harry Potter, hehe selalu kemanapun berada. Tiba di King's Cross Station, saya langsung mencari platform 9. Dan benar saja, disana telah ramai murid-murid baru Hogwarts yang siap untuk menerobos platform 9 3/4.
Antriannya gila panjang sekali, jadilah saya harus bersabar menanti. Keinginan untuk berangkat ke Hogwarts tidak pernah surut. Setelah hampir sejam lebih, saya baru mendapat giliran untuk berlari. Tentu saja saat pengalungan syal dilakukan, saya langsung mengatakan dengan lantang "Griffindor". Ingin sekali rasanya membeli kostum lengkap, namun apa daya kantong tak sampai, satu buah jumper griffindor saja harganya 75 Pounds, seharga sejuta dua ratusan, alah buat makan berapa minggu yak. Jadilah saya berpuas diri dengan mengamati dari dekat semua pernak pernik dan juga para fans Harry Potter dari bermacam penjuru dan segala usia. Canggihnya disini juga disediakan pembuatan Letter of Acceptance dari Hogwarts, dengan alasan yang sama saya memutuskan untuk cukup berpuas diri dengan LOA dari UoB saja.
Setelah dari sana, saya menemui kawan lainnya yang juga kuliah di kota ini. Jadilah kami berangkat ke Tower Bridge yang juga ikonik. Jembatan yang secara fungsi sama dengan Jembatan Ampera dulunya yang bisa membuka dan menutup. Namun saat ini jembatan ini juga sedang di renovasi, jadi kami memilih berkeliling di area seputaran jembatan di malam hari, masih diiringi rinai gerimis.