Lihat ke Halaman Asli

Winda Ari Anggraini

A novice writer

The Girl on the Train: Rumput Tetangga Selalu Lebih Hijau

Diperbarui: 16 Oktober 2016   14:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dokumentasi Pribadi

Sore ini menjadi sejarah karena pertama kalinya saya diajak nonton film di bioskop lokal yang artinya tanpa subtitle. Beberapa menit sebelum film dimulai, kami bertemu di depan salah satu bioskop di Birmingham city centre yakni Odeon. Kerumunan orang ramai mengantri, bukan antri didepan mbak-mbak seragaman hitam ala Twenty One, tapi depan 4 buah mesin penjual tiket. Perasaan saya, disini hampir sebagian jasa menggunakan mesin, entah itu untuk beli tiket kereta, pinjam-balikin buku di perpus, sampai beli snack dan pop-corn juga. 

The Girl on the Train judulnya. Ini pilihan teman saya, dia yang beli tiket, jadi saya manut saja. Belum lagi iklan film ini lagi beredar dimana-mana, sepertinya layak untuk ditonton. Setelah masuk teman saya yang satunya berbisik, "any subtitle?", saya menggeleng dan dia langsung tertawa masam. Dua teman saya tersebut dari Cina dan sedang belajar bahasa Inggris juga terpatah-patah seperti saya, jadilah kami menganggap sesi ini sebagai latihan listening skill. Film dimulain dengan scene kereta yang sedang berjalan dan kemudian ditunjukkan tiga orang wanita, pertama Rachel, seorang alkoholik kronis, jobless, depresi karena perceraian, suka mengalami black out tiba-tiba karena mabuk. 

Dan kadang bertingkah aneh dengan mendatangi rumah sang mantan suami dan memaksa masuk. Ooops jangan berprasangka buruk dulu,karena dialah sang pemeran utama. Wanita kedua yang dihighlight adalah Megan, digambarkan sebagai wanita cantik dengan suami super baik, bekerja sebagai babysitter, awalnya direktur galeri, cantik, pirang, dan menawan. Terakhir adalah Anna, seorang ibu rumah tangga yang tidak bekerja tapi mempekerjakan Megan sebagai nanny. Suka keluar untuk pekerjaan sukarela dan lain-lain. 

Cerita kemudian mengalir lambat dari satu perjalanan kereta ke perjalanan lainnya. Kereta yang dinaiki Rachel menuju Manhattan ini selalu melewati rute yang sama, sebuah daerah dengan beberapa rumah, yang ternyata salah satunya adalah rumah Rachel semasa masih bersama sang suami. Rachel yang suka menggambar memperhatikan pasangan yang tampaknya sangat serasi di salah satu deretan rumah tersebut. Dari sini ia menafsirkan bahwa wanita yang dilihatnya pastilah teramat bahagia dengan rumah dan suami yang begitu perhatian. Setiap kali melewati jalur yang sama, Rachel tak lupa menatap lekat pada rumah dan pasangan tersebut. 

Hingga suatu hari ia melihat wanita tersebut bersama pria yang berbeda di balkon rumahnya. Rachel marah, mengutuk kenapa dia yang begitu sempurna harus selingkuh seperti itu. Saking marahnya ia kembali mabuk parah dan mengingat semua kejadian buruk di pernikahannya hingga sang suami berselingkuh dengan Anna. Saking marahnya, ia memutuskan turun di stasiun dekat rumah tersebut dan melihat wanita tadi jogging kemudian mengikutinya sampai ke terowongan. Adegan langsung gelap, Rachel terbangun dalam kondisi berlumuran darah dan lupa dengan apa yang terjadi. Besoknya wanita cantik super sempurna digambaran Rachel menghilang tanpa jejak. 

Kisah ruwetnya bermula dari Rachel yang memutuskan memberitahu suami Megan bahwa paginya ia bersama seorang pria. Suami Megan, Scott, tentu saja shock dan bingung. Well, plotnya tidak selurus itu, beberapa kali cerita diambil dari sudut pandang Megan yang ternyata kesepian (in this case, saya sebenarnya tidak setuju kenapa dia harus merasa begitu), memiliki trauma parah karena pernah keguguran tanpa sengaja, punya kelainan dan seperti kurang kasih sayang. See, betapa Rachel sangat salah tentang banyak hal. Padahal Scott memang sangat baik, tapi entah kenapa hidup mereka harus begitu rumit, disini yang disoroti karena mereka belum punya anak. Ah ya Rachel juga diceraikan karena tidak punya anak. Megan selalu datang ke ahli terapis untuk menghilangkan trauma.

 Kasus pembunuhan ini menjadi misteri, meski Rachel bersusah payah untuk mengingat kejadian yang terjadi di malam Jumat di terowongan. Penonton diajak menganalisa siapakah yang menjadi dalang pembunuhan di film ini, saya rasa itulah kenapa film ini dikategorikan thriller. Walaupun saya tidak merasakan spot jantung seperti saat nonton film sejenis. Plotnya sangat lambat hingga kedua teman saya bilang bosan. Saya masih tetap fokus dan semangat 45 biar bisa menangkap semua percakapan dengan teliti. Film berakhir dengan pembunuhan lainnya, tragis tapi diluar ekspektasi. Rachel berubah menjadi wanita berbeda dengan berhenti minum dan menikmati hidup. 

Setelah keluar, teman saya berbisik dia tidak mengerti 2/3 dari keseluruhan film...hhh seperti biasa bahasa Inggris yang mereka pakai sangat cepat. Tapi tetap saja untung karena filmnya bertempat di Amerika, kalau mengikuti novelnya (yang kabarnya meledak) ber-setting di London, dan harusnya beraksen british. Jadi trial menonton tanpa subtitle pun sukses, diakhiri dengan pulang dan mengomentari film di kereta menuju rumah. Agh, iya juga, kadang kalau melihat orang lain hidup mereka terlihat indah, lancar tanpa hambatan berarti, bahagia, padahal sebenarnya tidak ada yang pernah tahu. 

Jadi ingat sebuah kisah lama, sepasang suami istri ditengah sawah beriringan berkata, "andaikan kita punya mobil, lihat betapa mudahnya hidup orang-orang dalam mobil tersebut, bisa kemana-mana tanpa khawatir hujan. Sedangkan yang berada di mobil menatap keluar dan berandai-andai jika saja mereka bisa dengan bebas hidup berlarian di tengah sawah tanpa harus terjebak macet dan segala jenis kepanikan lainnya. See, betapa rumput tetangga selalu terlihat lebih hijau.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline