Aku sengaja datang ke sana di hari Minggu (15/10/2017). Rumah ditepi jalan itu harum aroma kopi. Aroma terapi kopi yang mengundang selera untuk segera ingin meneguk air hitam pahit yang menjadi candu. Si hitam yang dirindukan .
Setelah mengucap salam , tak ada orang diruang tamu yang tidak bersofa. Di sana hanya berisi tumpukan silih tempat menjemur kopi.
Sebuah tempat bagian kiri ruang tamu, pintunya terbuka. Aroma kopi yang dibakar api langsung semerbak memenuhi hidung.
Di sana , dua pemuda lajang sedang serius. Satu orang Hendrika Fauzi, sedang memelototi komputernya. Suara musik, Kitaro, mengalir lembut. Kitaro seolah membawa terbang ke alam raya.
Sementara seorang temanya, menghadap sebuah alat memasak biji kopi.Mesin penyangrai kopi ini biasanya dipawangi Mizi. "Mizi pergi ke kebun di Toa", jelas Hendrika.
Mesin sele berkapasitas tiga kilogram.
Didominasi warna hitam. Mesin roasting ini sedang bekerja memutar drum stainless yang dibakar api dari gas tiga kilogram. Mesin roasting tersebut diberi label Uncle John.
Mesin Gongseng kopi modern , sejak tahun 2006, mulai menjadi "mainan" baru warga pegunungan di tengah Aceh ini. Kabupaten Kopi, Takengen dan Redelong. Di dua kabupaten kopi ini, halaman rumah warga, dipenuhi tanaman kopi arabica.
Kami bertiga salaman seraya melempar senyum. Ruangan berukuran 3 x 5 meter ini dipenuhi berbagai barang yang berhubungan dengan kopi.
Greenbeans, roasted Beans dalam toples kaca , continuous Sealer, grinder, bubuk kopi dikemas alufo, manual brew , Espresso machine buatan China hingga catatan roasting dan berbagai sertifikat.
Penghuni rumah di Paya Tumpi 1 ini ada tiga sekawan. Mereka semua dari satu almamater, Universitas Gajah Putih.