Lihat ke Halaman Asli

Prilaku Elite dan Manusia Skizofrenic

Diperbarui: 24 Juni 2015   06:50

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Hari ini kita disajikan dengan sangat gamblang bagaimana para elite politik yang memegang tampuk kekuasaan dengan tanpa rasa malu mengumbar kata-kata yang tidak disertai pertanggungjawaban secara moral. Mengatakan membela kepentingan rakyat, tetapi justru mengeluarkan kebijakan yang menyakiti rakyat. Beretorika tidak korup, namun menerbitkan keputusan-keputusan yang sarat aroma suap dan korupsi. Menampilkan gaya bicara seolah-olah penuh kejujuran, namun ternyata hanya kebohongan. Nampaknya banyak elite politik yang menjadi pejabat negara saat ini menjadi manusia-manusia yang “sakit” akibat terlalu sering mengalami split personality (kepribadian ganda). Elite politik telah menjelam menjadi manusia-manusia schizophrenic.

Pernyataan bahwa elite politik adalah manusia-manusia yang ‘sakit” bukanlah tesis baru. Hamdi Muluk guru besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia dalam bukunya Mozaik Psikologi Politik Indonesia (2010), mengutip pendapat Harold D. Lasswell seorang pakar komunikasi politik yang mengakui kemungkinan elite politik mengalami apa yang disebut sebagai psikopatologi atau gangguan kejiwaan. Kekuasaan yang menjadi motif utama para politisi sebenarnya bersumber pada konflik intrapsikis yang dialihkan ke domain publik, Dalam bukunya Psycopatolgy and Politics, Lasswell melontarkan kecurigaannya bahwa arena politik sebagai “ajang perebutan kekuasaan” tidak lebih sebagai kompensasi dari ketidakmampuan seseorang mengatasi konflik-konflik dalam jiwanya sendiri. Lalu motif kekuasaanpun dirasionalisasi melalui pembenaran dengan mengatakannya demi ideologi, demi kepentingan rakyat.

Hanya saja “sakit” nya elite politik di Indonesia mungkin sudah mencapai tahap yang akut sehingga bisa dikatagorikan mengalami salah satu gejala (sindrom) sakit jiwa yang dikenal dengan nama skizophrenia. Kata skizophrenia berasal dari dua kata Yunani, yaitu pertama skhizein, yang artinya terpisah, atau terbelah (split). Kata Yunani ini juga merupakan asal kata scissor (gunting) dalam bahasa Inggris. Kata kedua adalah phren-yang artinya minda (jiwa). Jadi, schizophrenia (diindonesiakan: skizofrenia) berarti fungsi jiwa yang terbelah karena gejala-gejalanya memang tidak nyambungnya berbagai fungsi kejiwaan dari penderita,misalnya: tidak bisa membedakan realita dan khayalan, tidak nyambungnya kata dengan perbuatan, tidak nyambungnya emosi dengan pikiran dan perbuatan, dan sebagainya.

Skizofrenia para elite politik sepertinya berawal dari terlalu seringnya mengalami split personality (kepribadian ganda). Kepribadian ganda bermula dari “pertunjukkan” yang harus dilakoni para elite di ranah publik yang selalu berbeda dengan kondisi sesungguhnya yang ada di wilayah privat. Dalam telaah Teori Dramaturgi nya Erving Goffman, manusia memang selalu dipaksa mempertontonkan perannya di panggung depan(frontstage) yang seringkali berbeda dengan panggung belakang (backstage).

Para elite politik, terpaksa menjelma menjadi aktor yang memainkan peran yang diinginkan oleh publik agar citranya terjamin. Keterpaksaan terjadi ketika elite politik memerankan peran untuk pencitraan sesuai keinginan publik karena sistem demokrasi menjadikan publiklah yang menentukan siapa yang bisa mempertahankan kekuasaannya. Masalah terjadi ketika pencitraan yang terpaksa dilakukannya berseberangan dengan keinginan sesungguhnya yang tersembunyi di panggung belakang. Demi citranya, elite politik memainkan peran seolah-olah pembela rakyat, namun sesungguhnya dibalik itu, ia sedang menyembunyikan keinginannya untuk menangguk keuntungan pribadi dan kelompoknya.

Ketika pikiran, perkataan dan perbuatannya pada ranah publik dipaksa berbeda dengan ranah domestik, maka apa yang diucapkan di hadapan publik bisa jadi bukanlah apa yang menjadi niatan sesungguhnya. Tekanan untuk selalu menampilkan citra yang baik di hadapan publik akan menjadikan kata-kata yang terucap bukan lagi kejujuran, melainkan hanya kebohongan. Kata-katanya tidak lagi memiliki esensi kebenaran dalam pengertian bahwa setiap kata memiliki konsekuensi moral. Setiap kata yang meluncur dari elite politik sekedar bunyi-bunyi yang terdengar indah di telinga publik, namun hampa dari konsekuensi moral bagi yang mengucapkannya.

Fredric Jameson dalam artikelnya The Anti Aesthetic Essays in Posmodern Culture mengutip Jaques Lacan, menyebutkan bahwa gejala dari skizofrenia berwujud kekacauan bahasa. Elite politik penderita skizofrenia menunjukkan dengan jelas ketidakkonsistenan mengenai apa yang dikatakannya. Pernyataan yang dengan terang benderang diungkapkan kepada publik melalui media, tiba-tiba pada hari berikutnya dibantahnya sendiri. Yang paling mengkhawatirkan tentu saja, dalam kondisi ketidakkonsistenan atau kebohongan yang telah diketahui publik, elite bersangkutan tak sedikitpun menunjukkan rasa bersalahnya. Lalu kemana rasa bersalah atas perkataan bohong yang telah dilakukannya?

Jawabannya adalah pada kecenderungannya untuk terlalu sering berkata bohong karena tuntutan peran yang harus dimainkkannya dihadapan publik. Akibatnya elite politik menjadi sulit membedakan ketika ia sedang berbohong atau berkata jujur dalam memainkan perannya sebagai pejabat publik. Pada awal-awal terjun ke dunia politik, elite yang bersangkutan masih menyadari bahwa pada dirinya terjadi perbedaan antara pikiran, perkataan dan perbuatannya merupakan bagian dari permainan peran yang harus dilakukannya. Artinya ketidakjujurannya masih mampu dikenali oleh dirinya sendiri.

Persoalannya kemudian adalah ketika elite politik tersebut terus menerus harus berperan sebagai aktor politik yang memaksanya melakukan kebohongan demi menjaga kepentingan pribadi atau kelompoknya, maka kebohongan yang awalnya masih bisa disadari sebagai kebohongan lalu perlahan mulai menjadi hal yang dianggap sebagai kebenaran. Berbohong menjadi hal yang dianggap sebagai hal wajar dan biasa, bukan sebagai sebuah perbuatan dosa.

Bahkan berbohong dianggap sebagai sebuah keharusan bagi seorang elite, jika ingin kekuasaannya dipertahankan. Maka tiada sedikitpun rasa bersalah ditunjukkan dan tak ada secuilpun perkataan maaf yang dimintakan kepada publik, meski kebohongan itu telah menjadi pengetahuan publik. Bahkan prilaku nya yang melawan kehendak rakyat dianggapnya sebagai sebuah kebenaran. Inilah tahap dimana para elite telah menjelma menjadi manusia-manusia skizofrenik.

Matinya Kejujuran

Celakanya, rakyat juga tidak lagi memikirkan berbahayanya sebuah kebohongan yang dilakukan para elite. Rakyat yang terlalu sering dibohongi merasa bahwa sudah menjadi sifat alaminya elite itu berbohong. Kebohongan para elite dinilai sebagai hal yang natural dan tidak perlu menjadi sebuah pertimbangan penting dalam memilihnya ketika proses demokrasi berlangsung. Akibatnya adalah rakyat memilih elite yang paling lihai dalam menyembunyikan kebohongannya sebagai sebuah kebenaran. Pada tingkat yang paling mengkhawatirkan, dalam alam bawah sadar rakyat kemudian terbentuk pemahaman bahwa yang paling pintar mengumbar kebohongan, itulah elite politik yang paling cerdas.

Realitas itulah yang menjadikan hari ini, di negeri bernama Indonesia masih sangat sulit menemukan sosok elite yang berkata jujur sesuai dengan apa yang dipikirkan dan apa yang dilakukannya. Ketidaksinkronan antara pikiran, perkataan dan perbuatan merupakan gejala yang dianggap umum. Tanggungjawab atas setiap ucapan para pejabat publik tidak lagi menjadi mahkota. Mungkin kejujuran telah mengalami kematiannya, dibuktikan dengan munculnya istilah, “siapa jujur akan hancur”. Dalam masyarakat, memang banyak orang-orang politik yang memilih teguh pada nilai kejujuran justru terlempar dari pusat-pusat kekuasaan.

Jika negeri ini hendak diperbaiki, maka tidak ada jalan lain yang harus dilakukan yakni menghembuskan kembali roh hidup kepada kejujuran. Kata-kata kembali dimahkotai dengan kejujuran dengan menghubungkannya kepada pikiran dan perbuatan. Negeri ini merindukan pemimpin yang bukanlah manusia-manusia skizofrenic.


Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline