Lihat ke Halaman Asli

Pariwisata Telah Menjadi Api Bagi Bali

Diperbarui: 25 Juni 2015   00:18

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Sulit membayangkan apa yang bisa dilakukan Bali tanpa pariwisata.

Namun sebenarnyalah pariwisata itu adalah Api. Maka jika pariwisata tidak dikendalikan dengan kebijakan tepat, bukan berkah yang akan diterima, melainkan bencana. Kobaran api pariwisata akan membakar habis Bali hingga tak bersisa. Bahkan api pariwisata bisa menjelmakan Bali dari “The Last Paradise” (surga terakhir) menjadi “The New Hell” (neraka yang baru).

Banyak literatur mengenai pariwisata dalam paradigma kritis yang sering menyebutkan bahwa pariwisata itu adalah api. Api itu bisa dipergunakan untuk memasak, namun jika tidak dikendalikan dengan baik bisa juga membakar habis rumah kita. Ungkapan terkenal mengenai pariwisata mengatakan seperti ini, “Tourism is like fire: you can cook your dinner on it, but if you are not careful. it will burn your house down.”

Pada konteks pariwisata Bali, kita bisa melihat bahwa kegagalan pemerintah mengendalikan laju pariwisata sudah mulai memperlihatkan semakin besarnya kobaran api hasrat pariwisata. Fakta paling mudah dilihat adalah terjadinya kerusakan lingkungan. Daerah resapan air semakin menyempit karena luas hutan yang harusnya mencapai 20 persen dari luas daratan Bali tidak lagi bisa dipenuhi. Lahan sawah yang beralih fungsipun makin massif.

Pemerintah gagal mengendalikan peralihan fungsi lahan karena tidak memiliki komitmen kuat. Bukannya mencegah, pemerintah justru mengeluarkan kebijakan yang mendorong peralihan fungsi lahan dengan mengenakan pajak tinggi pada lahan pertanian. Atas nama pembangunan untuk mendukung pariwisata, jalan-jalan baru pun dibangun dengan menutup banyak saluran irigasi. Lahan pertanian milik petani menjadi kesulitan air, kering lalu tak bisa digarap. Karena tak lagi produktif, dengan alasan desakan ekonomi, lahan pertanian dijual kepada investor.

Omong Kosong
Sementara itu harga pupuk pun dinaikan berlipat-lipat sehingga mempertinggi ongkos produksi. Tak banyak generasi muda Bali yang masih mau menjadi petani. Ironisnya, di mimbar-mimbar pidato, di forum-forum akademis, nasib pertanian selalu saja dibicarakan. Namun, semua hanya sebatas omong-omong kosong. Lebih ironis lagi, karena para pemimpin di Bali konon justru menjadi calo-calo yang siap menyediakan tanah bagi para investor.

Pariwisata juga mendorong dengan kuat terjadinya urbanisasi. Bali yang kecil diserbu warga dari luar daerah yang berharap ikut mengalap berkah dari pariwisata. Karena daya dukung Bali sangat kecil, maka terjadilah ledakan demografi tak terkendali. Sudah banyak teori mengulas bahwa ledakan penduduk memiliki dampak sangat buruk terutama bagi sektor keamanan. Angka kriminalitas menjadi semakin tinggi. Faktanya, Bali kini memang sudah menjadi daerah yang keamanannya makin diragukan.

Ketika kue pariwisata semakin nikmat, justru penduduk lokal Bali bukannya ikut menikmati bagian kuenya melainkan hanya remah-remah. Pariwisata yang kental dengan watak kapitalismenya dan didukung kebijakan demikian liberal, menjadikan penduduk lokal makin termajinalkan. Para pedagang souvenir di pasar-pasar seni tradisonal yang dulu pernah berjaya dan hidup lumayan dari pariwisata kini hidup kembang kempis. Kalah bersaing dengan pengusaha-pengusaha bermodal raksasa.

Banyak uang dari pariwisata dinikmati investor-investor raksasa yang bahkan bukan orang Indonesia melainkan dari negara lain. Lihat saja siapa pemilik hotel-hotel besar di Bali. Hampir sebagian besar merupakan jaringan hotel internasional. Artinya bahwa sebenarnya bahwa pariwisata Bali bukanlah dari, oleh dan untuk orang Bali, melainkan dari, oleh dan untuk orang asing.

Neraka Baru
Pada tahun 1930-an, Miguel Cavarubias bersama sejumlah seniman asing seperti Walter Spies dengan antusias memperkenalkan Bali kepada dunia luar terutama dunia barat. Bali diperkenalkan sebagai surga terakhir (the Last Paradise). Penyebutan sebagai surga karena ketika itu, wanita-wanita Bali masih bertelanjang dada dan mandi di pancuran dengan riang. Mirip seperti gambaran kehidupan di taman firdaus dalam keyakinan masyarakat barat.

Bali juga diperkenalkan memiliki keeksotikan budaya karena budaya-budaya yang sudah lama lenyap diperadaban lainnya di dunia ini, tapi masih bisa ditemukan di Bali.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline