Lihat ke Halaman Asli

Winarto SPd

Guru Bahasa Indonesia

Shelomita Berkalung Nestapa

Diperbarui: 16 Juli 2024   15:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Ash-shalaatu was-salaamu 'alaaik" tarhim subuh saling bersaut di toa-toa masjid. Santriwati berderet antri di muka pintu pojok pondok.

Biasanya aku selalu semangat membangkitkan badan untuk menyambut sang fajar. Tetapi hari ini sangat jauh berbeda, air mataku yang terus mengalir melemahkan sendi-sendi tubuhku untuk beranjak dari ranjang. 

Teringat kemarin sore jadwal besuk orang tua para santriwati begitu bahagia, dipeluk, dicium, bahkan beraneka buah tangan mereka terima. Mataku mulai liar menengok segala penjuru pondok, berharap ibu dan bapakku menjenguk.

"Lho dek, kok lesu disini. Orang tua tidak datang?" Tanya Kang pondok penjaga gerbang perbatasan santri laki-laki dan perempuan.

"Mboten Kang" sambil tertunduk jawab lirihku.

Otak ku kembali berputar, anganku mulai menari. Sadar betul, dari umur 6 tahun seorang gadis kecil bernama Shelomita harus terbuang. Timang kasih sayang orang tua telah sirna. Bapakku sibuk dengan selir-selirnya. Ibuku keluar dari rumah entah kemana. Pondok pesantren menjadi rumahku untuk melangsungkan hidup.

"Nduk, Urip kuwi akeh pacobane. Bapak nduweni keyakinan, yen awakmu kuat nandang kahanan, kamulyan bakal awakmu tompo" pesan Kyai Ismail 11 tahun lalu saat aku diterima di pondok.

Puluhan ikat ranting pohon menguatkan bahuku, membersihkan seluruh sudut rumah menjadi tempat fitness ku, tamparan kuat tiap saat mendewasakan ku. Keras betul bapak ku mendidik. Aku bagaikan robot kecil yang dibeli dari pasar loak, dijadikan pembantu, dikekang, dihajar menjadi makanan setiap hari-hari ku.

"Ibu, aku ingin ikut denganmu. Ibu, seperti apa parasmu. Ibu, masihkah ada surga di telapak kakimu" begitu ungkapan-ungkapan dalam tangis yang meramu di otakku.

Sejak 3 tahun, ibuku pamit keluar sebentar. Tetapi apa, sampai umurku 17 tahun, ibuku tidak pernah pulang. Inikah arti sebentar dari perpisahan?

"Mbak, 3 hari lagi Haflah Akhirussanah. Setelah ini mbak hendak pulang, apa melanjutkan kuliah?" Tanya adik santri satu kamarku, yang aku anggap seperti adikku.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline