Lihat ke Halaman Asli

Karena Beasiswa, Akhirnya Naik Pesawat

Diperbarui: 25 Juni 2015   01:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bandara El-Tari Kupang

[caption id="" align="alignnone" width="640" caption="Bandara El-Tari Kupang, foto dokumentasi pribadi ketika ke Kupang bulan Mei 2010"][/caption]

Bila ditanya mengenai perjalanan yang paling mengesankan dan menyenangkan, saya akan menjawab perjalanan ketika naik pesawat untuk pertama kali. Perjalanan itu bagi saya merupakan catatan sejarah dalam hidup saya karena beberapa alasan. Alasan pertama dan mungkin banyak teman saya yang belum tahu, bahwa saya untuk pertama kali naik pesawat pada bulan Mei 2010 yang lalu. Jika dihitung-hitung usia, pertama kali naik pesawat ketika saya berumur 26 tahun.  Alasan kedua mengapa perjalanan menggunakan pesawat sangat mengesankan bagi saya adalah perjalanan tersebut dibiayai oleh sebuah program beasiswa, Internasional Fellowships Program (IFP) - Ford Foundation.  Jika dihitung secara total hingga saya menulis tulisan ini, saya telah naik pesawat sebanyak 4 kali dan semuanya itu dibayari oleh beasiswa Ford Foundation.

Begini cerita detailnya.

Setelah mengirimkan aplikasi beasiswa IFP-Ford Foundation dan menjalani test TOEFL pada bulan Maret 2010, akhirnya sebuah surat datang. Surat tersebut berupa surat undangan untuk mengikuti wawancara. Di surat tersebut, wawancara akan dilaksanakan pada tanggal 30 Mei 2010 bertempat di Kota Kupang. Membaca isi surat itu, saya sangat gembira, sekaligus cemas. Selain akan menghadapi tes wawancara, saya juga mencemaskan karena saya harus naik pesawat (untuk pertama kali dalam hidup).

Mengapa sampai saya belum pernah naik pesawat hingga bulan Mei 2010 itu? Alasannya, bisa jadi karena keterbatasan finansial sehingga memilih angkutan lain yang lebih murah dan mungkin saya  memiliki apa yang disebut dengan flight anxiety. Lantas, bagaimana saya bepergian selama itu? Selama masih bisa dijangkau dengan angkutan darat, saya memilih membeli tiket bus atau kereta, meskipun waktu tempuh akan lebih lama, dibandingkan dengan membeli tiket pesawat.

Beberapa contoh perjalanan yang pernah saya jalani. Bulan November 2007, ketika saya masih berstatus mahasiswa di UKSW Salatiga, saya mengikuti sebuah konferensi di Jakarta.  Karena biaya sangat terbatas dan saya berangkat sendiri, saya lebih memilih membeli tiket kereta dan berangkat dari Stasiun Balapan ke Jakarta. Seusai tamat, saya kebetulan diterima bekerja di Pulau Dewata pada tahun 2008 hingga 2010. Meskipun antara pulau Jawa dan Pulau Bali dipisahkan oleh lautan dan jarak yang cukup jauh, saya lebih memilih membeli sebuah tiket bus dan melakukan perjalanan darat. Ketika pulang beberapa kali ke Pulau Jawa untuk liburan pun, saya sudah pesan tiket bus jauh-jauh hari. Sebulan sebelum wawancara di Kupang, saya ada meeting di Pulau Lombok. Dari Bali, jika ditempuh dengan pesawat hanya butuh beberapa menit saja. Namun, saya lebih memilih lewat jalur darat dari Denpasar ke Pelabuhan Padang Bai dan dilanjutkan dengan kapal laut ke Pelabuhan Lembar yang bisa memakan waktu kira-kira 5 jam.

Namun, kembali tentang wawancara beasiswa di Kupang, saya tidak memiliki pilihan lain. Saya harus naik pesawat dari Bali ke Pulau Timor. Mungkin sih menggunakan bus, namun akan memakan beberapa hari. Jadi, mau tidak mau saya harus memesan tiket pesawat dan menurut surat yang saya terima, tiket pulang pergi akan diganti. Jadilah, saya membeli tiket pesawat dan berangkat ke Kupang pada tanggal 28 Mei 2010 dan kembali ke Denpasar pada tanggal 31 Mei 2010 bersama dengan teman-teman satu rombongan dari Bali yang melamar beasiswa.

Berangkat dari Bandara Internasional Ngurah Rai, meskipun baru pertama kali akan naik pesawat, saya tidak menceritakan hal itu pada teman-teman. Saya percaya diri saja masuk ke bandara, check in hingga akhirnya menunggu di ruang tunggu. Ketika ada panggilan boarding, saat itu saya sudah mulai dag dig dug.  Bersama dengan penumpang yang lain, saya mengantri masuk ke dalam shuttle bus hingga diantar ke pesawat, kemudian masuk ke dalam pesawat. Saya makin dag dig dug.

Begitu duduk tenang dan mengenakan sabuk pengaman, tidak lupa saya berdoa supaya sampai di Bandara El-Tari Kupang dengan segera dan selamat. Sayangnya, tidak seperti yang tertulis di itinerary, pesawat yang saya tumpangi itu ternyata tidak langsung ke Kupang, namun singgah terlebih dahulu di Tambolaka dan Waingapu. Waduh, bakalan lebih lama di dalam pesawat. Kok tidak sampai-sampai. Tidak apa-apakah, yang penting nanti sampai di El-Tari dengan selamat dan di hari Minggu saya bisa sukses wawancara dan kemudian kembali ke Denpasar pada tanggal 31 Mei 2010.

***

[caption id="" align="alignnone" width="640" caption="Mendarat di Schiphol Amsterdam 16 April 2011, penerbangan internasional pertama saya"]

Schiphol Amsterdam, penerbangan internasional pertama saya

[/caption]
Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline