Lihat ke Halaman Asli

Lebaran Tak Bertakbir: Ketidaksempurnaan Yang Menyempurnakan

Diperbarui: 26 Juni 2015   02:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

gema takbir1

[caption id="attachment_132869" align="aligncenter" width="648" caption="Kue dan Hidangan Lebaran di open house Mbak Tina, Groningen"][/caption]

~Youtube Bertakbir~

Hari raya Idul Fitri atau biasa juga disebut dengan Lebaran merupakan hari yang sangat ditunggu tidak hanya bagi umat Islam, namun juga umat non-muslim. Di masyarakat Indonesia, hari raya tersebut menyedot perhatian hampir seluruh penduduk Indonesia. Sebagai gambaran dapat terlihat dari pengalaman pribadi. Saya sangat menikmati dan menunggu hari raya lebaran sebab manakala malam takbiran, saya sesekali ikut berjalan keliling kampung meskipun saya bukan Muslim. Seusai sholat Idul Fitri, biasanya saya juga ikut berkeliling mengucapkan “maaf lahir batin” kepada tetangga yang merayakan sambil menantikan “amplop Lebaran” yang dibagikan orang yang lebih tua kepada anak-anak.

Ketika tiap tahun sudah terbiasa melihat dan mengalami pengalaman yang menyenangkan selama berlebaran, maka akan ada yang merasa hilang ketika “pernak-pernik” lebaran tidak teridentifikasi oleh panca indera. Ambil contoh gema takbir yang dilakukan dari tiap-tiap masjid hingga takbir keliling dengan membawa obor dan bedug. Setidaknya apa yang dialami oleh Nyimas Wardah, seorang mahasiswa master di Wageningen University, menggambarkan betapa sangat meriah suasana lebaran di kampung halaman. Tetapi, karena kini dia berada di Negeri Belanda, nuansa Idul Fitri yang meriah di Indonesia tidak bisa dia nikmati langsung. Untuk menambah suasana lebaran, Nyimas Wardah memanfaatkan Youtube dan memutar “Gema Takbir Idul Fitri” di komputernya sambil mengetik di Facebook “Begini caraku menikmati aura menjelang IED. Hidupkan you tube, mainkan!!” agar telinganya tidak merasa kehilangan ketiak tidak ada takbir berkumandang seperti yang terjadi di Indonesia.

[caption id="attachment_3681" align="aligncenter" width="484" caption="Youtube Bertakbir"][/caption]

Saya sempat menyapanya dengan cara memberikan komentar di Facebook. Dengan bercanda saya bertanya, “Nanti mlm keliling takbiran dimn?”

Belum sempat dia jawab, saya melanjutkan pertanyaan, “Sudah buat obor?”

Pertanyaan saya di atas ternyata ditanggapi oleh Wardah. Dia akan pergi ke Den Haag bersama teman-teman dari Wageningen. Di sana mereka akan kumpul dengan teman-teman yang kuliah di ISS dan Utrecht. Sebetulnya, saya sangat kepingin bergabung dengan mereka, namun karena ada urusan di Groningen, saya harus ikhlas tidak bisa ikut merayakan lebaran di Den Haag. Sebagaimana Wardah yang sudah terbiasa mendengar gema takbir di Indonesia, saya pun menghidupkan suasana lebaran dengan mendengarkan suara takbir di Youtube yang tautannya dipasang di Facebook oleh Wardah.

Memaknai Pernak-Pernik Lebaran

Selain gema takbir, makanan seperti ketupat dan opor juga diidentikkan dengan hari raya Idul Fitri. Kerinduan untuk menikmati hidangan lezat Lebaran tentu juga sangat dinantikan oleh setiap orang. Setidaknya, tulisan di Facebook Dian Pratiwi Pribadi yang juga mahasiswa Master di Wageningen University menggambarkan bagaimana seseorang yang kehilangan nuansa Lebaran. Tetapi ada sebuah pelajaran yang menarik dari apa yang ditulis oleh Dian;

“walau tanpa gema takbir, tanpa talu beduk, tanpa letupan mercon, tanpa nikmat opor & ketupat, tanpa kepuasan njanggol (he he.. jowo polll ki!)..lebaran dalam hati, terasa syahdu & hikmat melebihi masa-masa sebelumnya karena ketulusan meminta maaf melebihi segalanya kutujukan kepada teman-teman semua, Selamat Idul Fitri..”

Setelah membaca keseluruhan, saya memberi perhatian pada “melebihi masa-masa sebelumnya” karena Dian mampu memaknai Lebaran yang sesungguhnya, yaitu berlebaran dalam hati dan tulus dalam memberi dan meminta maaf kepada sesamanya. Makna itu jauh lebih berharga ketimbang letupan mercon, opor dan ketupat lebaran, suara-suara bedug yang bertalu-talu dan gema takbir keliling yang biasa terlihat ketika dia berada di Indonesia. Saya bisa merasakan apa yang Dian tulis itu, karena aura Lebaran yang terjadi di Indonesia sangat tidak terlihat di Belanda.

Walaupun demikian, pernak-pernik Lebaran tetaplah merindukan. Wardah dan teman-temannya pergi ke Den Haag setelah merencanakan jauh-jauh hari. Dalam perencanaan itu, mereka akan memasak hidangan khas lebaran seperti opor, sambal goreng kentang, tempe bakar dan tumis paria. Melalui kegiatan ini, rasa kebersamaan dan kekeluargaan terbina karena bersama-sama berkumpul dan bersosialisasi. Oleh karena itulah, di Indonesia tiap tahun orang berbondong-bondong pulang kampung di saat hari raya Idul Fitri demi berkumpul dengan keluarga di daerah asal.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline