Lihat ke Halaman Asli

Setelah Bapakku Bebas

Diperbarui: 26 Juni 2015   15:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Banyak pemilik akun Twitter yang muncul di timeline pada tanggal 19 dan 20 Juni berbicara tentang perayaan Father’s Day. Sejujurnya, saya tidak terlalu memberi perhatian yang lebih untuk perayaan semacam itu, termasuk hari kasih sayang atau hari ibu, sebab setiap hari adalah hari ayah, hari kasih sayang dan hari ibu. Namun entah mengapa, info bertubi-tubi di Twitter tersebut akhirnya menarik bagiku.  Banyak di antara mereka yang bercerita dan bersaksi mengenai peran seorang ayah dalam keseharian. Bermacam-macam kata dan ungkapan muncul bergantian.

Dalam perjalanan dari Denpasar ke Jawa hari Kamis yang lalu, saya sengaja membawa buku kumpulan puisi Fitri Nganthi Wani, yang tidak lain adalah anak penyair Wiji Thukul. Buku yang diberi judul “Selepas Bapakku Hilang” tersebut untuk kali kedua saya baca. Kali pertama buku itu saya dapat dan kemudian membacanya ketika Fitri dan Mbok Sipon datang ke Taman 65 Denpasar pada 11 September 2009 yang lalu.

Kumpulan puisi yang ditulis oleh Fitri itu menarik bagi saya sebab salah satu latar belakang ide penulisan kumpulan puisi itu adalah yaitu konflik dengan penguasa. Tentu sudah banyak yang tahu atau paling tidak mengenal siapa Wiji Thukul, penyair yang lantang bersuara keras dan kritis melawan penguasa Orde Baru hingga diberitakan menghilang. Pengalaman itulah yang kemudian dicurahkan oleh Fitri melalui bait demi bait puisi yang menarik untuk dibaca dan dikaji.

Kisah keluarga Fitri barangkali mirip dengan kisah keluargaku, khususnya pada perspektif konflik dengan penguasa. Jika Wiji Thukul lantang bersuara keras melalui puisi dan akhirnya menghilang, bapakku bukanlah tokoh yang berbahaya bagi penguasa, namun hanyalah sebagai korban yang sama sekali buta terhadap kosakata politik dan kekuasaan.

Ya, bapakku hanyalah satu dari sekian banyak orang yang dikambinghitamkan terlibat Gerakan 30 September yang pada kenyataannya sama sekali tidak mengetahui a-i-u-e-o gerakan tersebut. Ketika itu, bapakku baru berusia 25 tahun. Seusiaku saat ini. Pasca gerakan 30 September, bapak ditangkap oleh aparat untuk kemudian diadili oleh pengadilan yang tidak adil hingga  dibawa ke Pulau Nusakambangan selama 4 bulan. Menurut ceritanya, semua tahanan politik ditampung sementara di sana untuk kemudian diberangkatkan secara bersama-sama ke Pulau Buru, di Kepulauan Maluku.

Terlalu banyak kekerasan dan tindakan sewenang-wenang yang diperoleh selama ditahan. Segala daya dilakukan agar tetap bertahan hidup di belantara Pulau Buru. Banyak tahanan yang meninggal dunia di Pulau Buru. Yang Maha Kuasa masih memberikan anugerah kepada bapak. Bapak akhirnya dibebaskan setelah 14 tahun ditahan. Dari sinilah sejarah keluargaku dimulai.

Bapak terhitung terlambat menikah. Dilahirkan tahun 1941, namun baru menikah pada tahun 1980 atau satu tahun setelah kebebasannya dari Pulau Buru. Sebagai kepala keluarga yang harus memenuhi kebutuhan keluarga, tentu sangat berat karena menyandang status eks tahanan politik. Status itu harus tetap disandang ketika terjun di tengah-tengah masyarakat. Segala usaha dan pekerjaan dilakukan demi memenuhi kebutuhan hidup, mulai dari bertani, tukang batu hingga akhirnya jadi tukang sampah sampai hari ini.

Hingga usia ke-69 tahun, Bapak masih bekerja sebagai tukang sampah yang keliling di beberapa gang di Perumnas Palur. Emakku (panggilan untuk ibu) sebagai istri pun terus mendukung. Ketika saya masih kecil, saya turut merasakan bagaimana kerja keras kedua orang tua untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Saya sering diajak keliling perumahan di dekat rumah untuk menjajakan sayuran dan buahan-buahan hasil kebun sendiri. Ketika saya masih TK sekitar tahun 1990, Emak membuka warung kecil yang menjual makanan ringan dan juga jualan pecel dan bakmi. Usaha itu masih bertahan hingga sekarang. Memang waktu adalah uang, demikian kedua orang tuaku bekerja, memanfaatkan setiap peluang untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga dan anak-anak.

Bapak dan Emak selalu berpesan untuk rajin belajar agar kelak hidup sejahtera, tidak susah seperti kedua orang tuanya. Bagiku, pesan itu adalah sebuah tanggung jawab untuk mewujudkan cita-cita kedua orang tua. Mereka telah berjuang keras mengumpulkan rupiah demi rupiah untuk membiayai kebutuhan sehari-hari, biaya sekolah dan tetek bengeknya.

Selasa sore, dalam percakapan dengan Bapak dan Emak, saya mendengar bahwa Bapak dan Emak sudah sangat bersyukur dengan keadaan yang sekarang, sangat jauh lebih baik ketika masa kecilku yang lalu. Saya memahaminya perkataan tersebut bahwa ada buah atas doa dan kerja keras.

Masing-masing keluarga memiliki sejarah masing-masing dan uraian singkat di atas adalah sejarah singkat keluargaku. Gerakan makar di tahun 1965 dan Orde Baru turut menata sejarah keluargaku. Jika mendengar cerita Bapak ketika hidup tertawan di Pulau Buru memang terasa miris, sedih dan mungkin ada rasa dendam. Namun, dendam terhadap siapa? Terhadap keadaan? Terhadap PKI? Terhadap Orde Baru? atau terhadap siapa? Apakah lantas juga harus dilupakan? Kalau tidak dilupakan, apa yang harus diingat?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline