Lihat ke Halaman Asli

Labirin di Dalam Kepala

Diperbarui: 22 Januari 2025   23:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pins x Dalana

Terkadang, hidup terasa seperti teka-teki yang tidak pernah selesai. Seperti labirin yang setiap jalannya berulang pada sudut yang sama, berputar-putar hingga aku terjebak dalam lingkaran setan. Lelah, sakit, kecewa pada diri sendiri---emosi-emosi itu bercampur menjadi kabut yang sulit diuraikan. Aku ingin keluar, ingin bebas, tapi langkahku seperti terus terpaku pada rute yang menyesatkan, membawa kembali ke masa-masa kelam yang kuyakini telah kutinggalkan.

Aku marah pada diriku sendiri. Marah karena tak mampu membantu diriku melangkah ke arah yang benar. Di kepalaku, lingkungan yang toksik bukan datang dari luar, tapi dari bisikan-bisikan kecil yang kugubah sendiri. Aku adalah musuh terbesarku---dan aku psikiater bagi diriku sendiri yang terkadang terlalu keras memvonis, terlalu lelah mendengar, terlalu takut untuk mencari solusi.

Ironis, bukan? Kita sering memandang para profesional, seperti dokter atau psikiater, sebagai pahlawan tanpa cela. Namun, mereka juga manusia---manusia yang mungkin menyimpan labirin sendiri di dalam kepala mereka. Mungkin mereka, seperti aku, juga pernah tersesat, pernah merasa error, pernah mengalami down. Pada akhirnya, manusia adalah makhluk yang rapuh, namun terus berjuang untuk berdiri di tengah badai hidup yang tiada habisnya.

Lalu ada aku, berusaha bertahan dengan senyuman dan sapaan ceria. Orang-orang melihatku seperti sosok yang tak bercela, seolah aku adalah bagian dari lukisan yang sempurna. Padahal, di dalamnya, hatiku sudah menyerah. Kepala ini terus berusaha meyakinkan hati agar bertahan, berbisik, "Sedikit lagi. Kau hanya perlu sedikit lebih keras. Kau hanya perlu bersabar." Namun, tak jarang aku ingin melepaskan semua. Membiarkan semuanya mengalir seperti Chernobyl---sebuah ledakan kecil yang menciptakan kehancuran besar, yang keberadaannya nyata tapi tak seorang pun ingin mendekatinya.

Mungkin aku bukan seperti mereka---mereka yang ceria, menarik, dan selalu tampak menyenangkan. Aku adalah sebuah jalan yang orang lewati setiap hari, tanpa pernah mereka perhatikan dengan sungguh-sungguh. Tapi, bukankah hidup memang tentang hadir meski tanpa disadari? Aku tetap di sini, ada, nyata, meski tak dipandang. Sebab, kadang yang kita butuhkan hanyalah satu keberanian untuk memecah keheningan. Berteriak, berbicara, bahkan hanya berbisik, agar orang tahu: aku ada.

Namun, dari semua ini, aku belajar satu hal. Membiarkan diri merasa lemah bukanlah tanda kekalahan. Sebaliknya, itu adalah sebuah pengakuan bahwa hidup bukan untuk siapa pun selain mereka yang berjuang. Jiwa yang lemah adalah jiwa yang sedang mencari kekuatannya. Dan aku, bagaimanapun tersesatnya, bagaimanapun sakitnya, akan terus mencari jalan keluar. Sebab di balik setiap labirin, selalu ada celah menuju cahaya.

Mungkin, aku bukan pejuang yang sempurna. Tapi aku adalah seorang pejuang, d

an itu cukup.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline