Lihat ke Halaman Asli

Janin

Diperbarui: 25 Juni 2015   02:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Beauty. Sumber ilustrasi: Unsplash

Belum lama berselang masyarakat diresahkan dengan perilaku Dokter yang melakukan praktek aborsi secara ilegal. Perilaku biadab ini sempat mendapat porsi khusus sebuah media massa. Praktisi kesehatan disorot dan diminta pandanganya, kalangan rohaniwan mengecam dan mengungkapkan kegundahannya. Padahal persoalan ini bukan hal baru dan kejadian pembunuhan dan pembuangan janin atau pun bayi sering muncul di berita kriminal di layar cetak dan elektronik. Pihak yang kena sorot selalu dokter, ibu si janin, orang tua pelaku yang terlibat dalam aborsi itu. Namun apakah demikian sederhananya perilaku aborsi?

Kehamilan tak diinginkan semakin sering terjadi di negeri ini menambah catatan panjang betapa begitu rendahnya nilai kemanusiaan pada bangsa yang mengaku berKetuhanan dan berperikemanusiaan ini.  Rendahnya akhlak dan moral menjadi latar belakang perbuatan ini dan lagi-lagi pergaulan bebas dan budaya barat menjadi "tokoh utama" penyebab perilaku aborsi. Sehingga di bulan Ramadhan ini si "tokoh utama" ini mendapat porsi lumayan banyak untuk dihujat dan dikutuk di atas mimbar jamaah tarwih.

Padahal tindak pembunuhan janin bukan hanya karena persoalan pergaulan bebas dan perilaku oknum dokter yang menghalalkan cara untuk mendapatkan uang, namun lebih luas dari itu. Runtuhnya nilai-nilai agama dalam keluarga dan masyarakat menciptakan budaya permisive (serba boleh) menggusur budaya timur dan relijius. Sehingga orang tua dan masyarakat menjadi lemah pengawasannya terhadap pergaulan lelaki dan perempuan yang belum menikah. Dan ini tidak berhenti disitu saja, lemahnya pengawasan (baca: perilaku kritis) masyarakat juga terjadi pada perilaku para medis (bukan hanya dokter) dan peredaran obat-obatan.

Bidan, Perawat, Apoteker, Asisten Apoteker dan oknum petugas kesehatan lainnya tidak jarang juga menjadi pelaku (tunggal ataupun bersama-sama) praktek aborsi. Motifnya bermacam-macam mulai dari rasa kasihan dan ingin menolong sampai demi uang semata. Adanya akses dari petugas kesehatan ini kepada obat-obatan anti kehamilan mempermudah tindakan pembunuhan janin sehingga di daerah yang tidak memiliki  dokter spesialis kandungan kasus aborsi juga bukan hal langka terjadi. Orang tua tak tahan aib, si ibu tak mau punya anak, si bapak ingin lepas tanggung jawab dan masyarakat pun masa bodoh  maka para medis tak bertanggungjawab bisa merajalela sampai ke pelosok.

Peredaran obat-obatan anti kehamilan melalui Toko Obat dan Apotek yang tak terkendali menambah daftar panjang kasus aborsi. Lemahnya peran Balai Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) dan rendahnya sosialisasi kesehatan reproduksi dari Kementerian Kesehatan menjadikan masyarakat mendapatkan penanganan sekedarnya dan bahkan asal-asalan dari Toko OBat atau Apotek.  Beruntung jika pengelola Toko Obat atau Apotek (Pemilik Sarana Apotek) masih punya rasa kemanusiaan, maka obat pelancar haid yang wajar (resmi dan berlogo Obat Bebas) yang disodorkan pada kasus yang masih ringan. Namun jika kasusnya berat disarankan berobat ke tenaga medis profesional (karena pintu rezki masih banyak terbuka tanpa meraup laba dari membunuh janin!).

Namun di negeri yang telah maklum "uang adalah maha kuasa" maka rasa dan periksa berkemanusiaan telah luntur sehingga obat-obatan mengandung Misoprostol dan Mifepristone beredar di Toko Obat dan Apotek tanpa resep dokter. Perempuan hamil yang rendah pemahaman dan majal naluri kritisnya menjadi terjerumus dalam pemakaian obat anti  kehamilan secara tak bertanggungjawab ini. Ditengah-tengah masyarakat yang masa bodoh, korban seperti ini makin sering berjatuhan mulai dari pendarahan ringan, keguguran sampai kerusakan atau penyakit rahim yang berkelanjutan. Peredaran obat-obatan ini juga melibatkan sejumlah oknum Distributor Farmasi dan Perusahaan Besar Farmasi (PBF) yang secara tidak bertanggung jawab mengedarkannya ke Toko Obat dan Apotek. Pemahaman kewaspadaan pemakaian obat masih rendah dalam masyarakat dan pendidikan kesehatan secara luas belum maksimal menjadikan kita selalu bereaksi setelah sejumlah korban berjatuhan. Menanggulanginya seperti pemadaman kebakaran dan lagi-lagi hujatan dan kutukan membahana hanya di atas mimbar...naudzubillahiminzalik!




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline