Lihat ke Halaman Asli

Kebebasan Beragama?

Diperbarui: 25 Juni 2015   02:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

"Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu" (pasal 29 ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945)

Saat menonton acara Kick Andy pada Jum'at malam yang lalu banyak hal menarik perhatian penulis. Apalagi tamu yang dihadirkan saat itu sudah dikenal luas oleh masyarakat. Adnan Buyung Nasution seorang Advokat dan pembela Hak Asasi Manusia dihadirkan untuk memberikan "pledooi" terhadap buku yang Beliau tulis berjudul "Nasihat Untuk Presiden". Buku yang belakangan ini menimbulkan perbincangan di media massa dan sebagian besar masyarakat.

Namun dari perbincangan yang berkisar tentang buku tersebut ada satu hal yang paling menarik dan menjadikan renungan penulis. Pak Adnan Buyung Nasution dengan tegas berpendirian bahwa salah satu esensi Negara Demokratis adalah adanya perlindungan Hak Asasi Manusia terhadap kaum Minoritas dan tidak boleh ada Tirani Minoritas. Hal ini berkenaan dengan sikap Beliau terhadap umat Ahmadiah yang juga dimuat dalam buku tersebut. Beliau tidak setuju dengan Surat Keputusan Bersama (SKB) tentang pelarangan Ahmadiah, karena bertentangan dengan perlindungan Hak Asasi Manusia untuk bebas beragama dan berkeyakinan.

Serta merta penulis membuka-buka kembali Undang-Undang Dasar 1945 (dengan Amandemennya) dan bertemulah dengan Bab XI. AGAMA. pasal 29 ayat (1) dan (2) dan di ayat kedua disebutkan dengan jelas perlindungan setiap penduduk untuk memeluk dan beribadah sesuai agama dan kepercayaannya. Sepintas jika ditinjau ketegasan Pak Adnan Buyung tersebut bersesuaian sekali dengan ketentuan Pasal 29 ayat (2) UUD 1945, bahkan penulis pun menemukan landasan yang juga menguatkannya lagi yaitu pasal 28 I ayat (1) yang salah satunya menjamin kemerdekaan  beragama sebagai Hak Asasi Manusia yang tak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.

Namun persoalannya didalam kehidupan bermasyarakat tidak selesai sampai disana. Bagi umat Islam adalah kewajiban untuk mempedomani perintah dan larangan dalam kehidupannya menurut Al Qur'an (Sunatullah) dan Hadis (Sunnah Nabi Muhammad SAW). Termasuk menjaga kemurnian atau keaslian penerapan ajaran Islam itu sendiri. Mulai dari hal yang sederhana sekalipun, misalnya jika membaca ayat Al Qur'an maka tajwid dan bunyi huruf harus dibaca sesuai kaidahnya karena berlainan bunyi maka bertukar (meleceng) makna ayat yang dibaca.  Demikian pula menghadapi persoalan Ahmadiah, reaksi sebagian umat Islam mengecam mereka sebagai aliran sesat, ajaran sempalan dan menista agama Islam karena Ahmadiah dianggap menciptakan Nabi baru yaitu Mirza Ghulam Ahmad padahal dalam ajaran Islam Nabi dan Rasul terakhir hanyalah Nabi Muhammad SAW, demikian pula dengan "kitab suci" mereka yang disinyalir "mengutak-atik" ayat Al Quran. Banyak hal-hal lain yang dituduhkan kepada Ahmadiyah namun paling tidak demikian diantaranya yang penulis temui dalam pandangan masyarakat Islam pada umunya dan diekspos media massa.

Persoalannya adalah disatu sisi adalah kewajiban negara untuk melindungi kebebasan beragama dan berkeyakinan namun di sisi lain apakah jaminan kebebasan ini juga berarti bebas mengubah dan mengutak-atik dengan semena-mena ajaran suatu agama? Sehingga menjadi persoalan apakah Ahmadiah bagian dari Islam atau merupakan agama baru? Jika seandainya agama baru kenapa harus "mencederai" ajaran dan kitab suci Agama yang sudah ada (baca: Islam)?.  Apakah hak setiap penduduk yang beragama Islam untuk menjaga kemurnian Islam tidak dilindungi oleh Negara? Selayaknya (dianalogikan) jika kita memiliki suatu karya cipta yang orisinil apakah tidak wajib dilindungi oleh Negara dari tindakan pembajakan? Apakah menjaga keutuhan dan orisinalitas ajaran Islam tidak termasuk Hak Asasi Manusia untuk beribadah menurut agama dan keyakinnya?

Pertanyaan-pertanyaan seperti diatas menjadi berhamburan dibenak penulis dan sebenarnya telah menjadi pertanyaan juga di kalangan umat Islam pada umumnya (yang peduli dan kritis terhadap keyakinannya). Kiranya perlu juga pertanyaan demikian dibahas lebih mendalam oleh para Pembela Hak Asasi Manusia, Penegak Hukum, Akademisi, Pemerintah, Para Ulama dan Rohaniawan lainnya untuk menemukan kebenaran yang sejati dan seutuhnya.

Penulis sepakat cara-cara kekerasan dengan semena-mena (tanpa berdasarkan hukum) untuk menindas suatu golongan atau  kelompok masyarakat tidak boleh dibenarkan sekalipun mengatasnamakan Agama. Prinsip negara demokratis dan berkedaulatan hukum mesti diperjuangkan, walau ditengah-tengah masyarakat apa yang membedakan antara "Kebebasan Beragama" dan "Penodaan Agama" sepertinya masih belum memiliki rumusan yang jelas dan tegas.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline