Kasus PT Jiwasraya adalah salah satu skandal keuangan terbesar dalam industri asuransi di Indonesia yang mencoreng reputasi sektor keuangan tanah air. PT Jiwasraya, perusahaan asuransi milik negara, mengalami kerugian besar akibat pengelolaan dana yang buruk dan praktik investasi yang sangat berisiko. Pada 2020, Kejaksaan Agung mengungkapkan bahwa perusahaan ini mengalami kerugian mencapai Rp 16,8 triliun, yang sebagian besar disebabkan oleh kesalahan dalam investasi saham dan reksa dana yang tidak sesuai dengan profil risiko perusahaan. Hal ini berdampak pada puluhan ribu nasabah yang dirugikan, dan menyebabkan kerugian besar pada reputasi industri asuransi nasional. Dalam kasus ini, terbongkar bahwa manajemen perusahaan tidak menerapkan prinsip-prinsip pengelolaan yang sehat dan transparan.
Penyebab utama dari kerugian besar Jiwasraya terletak pada keputusan investasi yang spekulatif dan tidak hati-hati. PT Jiwasraya mengalokasikan sebagian besar dana nasabahnya dalam produk investasi yang sangat berisiko, seperti saham-saham perusahaan yang tidak terdiversifikasi dengan baik. Selain itu, meskipun ada sistem pengawasan internal, kontrol internal perusahaan ternyata lemah dan tidak efektif. Pada akhirnya, kerugian yang ditimbulkan menimbulkan keresahan publik dan menyebabkan pemegang polis tidak bisa mendapatkan klaim sesuai janji yang telah dibuat oleh perusahaan. Kejadian ini menjadi peringatan besar bagi pentingnya pengelolaan yang transparan dan akuntabel dalam industri keuangan, khususnya dalam perusahaan asuransi yang memegang dana masyarakat.
Kasus ini menunjukkan pentingnya penerapan Good Corporate Governance (GCG), yang meliputi transparansi, akuntabilitas, tanggung jawab, independensi, dan kewajaran dalam pengelolaan perusahaan. GCG berfungsi untuk menjaga agar setiap keputusan yang diambil oleh perusahaan dapat dipertanggungjawabkan kepada semua pemangku kepentingan. Dalam hal PT Jiwasraya, kurangnya transparansi dalam pengelolaan investasi dan kegagalan dalam menjaga kepentingan nasabah, menunjukkan betapa pentingnya prinsip GCG untuk mencegah praktik-praktik yang merugikan perusahaan dan masyarakat luas. Jika GCG diterapkan dengan baik, dapat dipastikan bahwa keputusan-keputusan yang diambil akan lebih mengutamakan kepentingan semua pihak yang terlibat, serta memastikan pengelolaan risiko yang lebih hati-hati dan terukur.
Penerapan GCG di PT Jiwasraya, atau perusahaan sejenis lainnya, seharusnya mengedepankan beberapa prinsip utama yang dapat mencegah terulangnya kejadian serupa. Pertama, transparansi dalam pengelolaan keuangan dan investasi. Informasi yang jelas dan mudah diakses oleh publik dan pemangku kepentingan akan membantu meminimalkan potensi penyelewengan atau keputusan yang merugikan. Kedua, akuntabilitas yang mengharuskan setiap keputusan investasi dapat dipertanggungjawabkan oleh pihak manajerial kepada pemegang saham, regulator, dan masyarakat. Hal ini termasuk adanya audit eksternal yang dapat mengevaluasi kebijakan investasi perusahaan secara objektif.
Selanjutnya, pengawasan internal yang efektif adalah salah satu aspek penting dari GCG. PT Jiwasraya seharusnya memiliki sistem pengendalian yang ketat untuk memantau dan menilai portofolio investasi secara rutin. Pengawasan yang dilakukan oleh Dewan Komisaris dan Komite Audit harus dilakukan secara objektif dan independen, serta tidak dipengaruhi oleh kepentingan tertentu yang dapat merugikan perusahaan. Dalam kasus PT Jiwasraya, pengawasan internal yang lemah mengarah pada keputusan investasi yang spekulatif, yang seharusnya bisa terdeteksi lebih dini oleh pihak yang berwenang.
Penerapan GCG juga menuntut adanya komitmen dari seluruh pihak terkait, mulai dari manajemen puncak hingga karyawan. Di PT Jiwasraya, kegagalan manajerial dalam menjalankan prinsip-prinsip GCG mengindikasikan kurangnya budaya perusahaan yang mengutamakan etika dan profesionalisme dalam bekerja. Dengan mengedepankan integritas dan komitmen terhadap kebijakan yang sudah ditetapkan, perusahaan dapat meminimalkan terjadinya penyalahgunaan wewenang atau penyelewengan dana yang merugikan nasabah dan pemegang saham.
Untuk mencegah terulangnya kasus serupa, regulator seperti Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga harus semakin memperkuat pengawasan dan penegakan aturan terkait penerapan GCG dalam industri asuransi dan sektor keuangan secara umum. Penegakan hukum terhadap pelanggaran GCG harus tegas, dan perusahaan yang terbukti melakukan kelalaian dalam pengelolaan dana harus diberikan sanksi yang cukup berat, guna memberi efek jera. Dalam hal ini, penerapan GCG yang konsisten dapat mencegah terjadinya krisis kepercayaan publik terhadap sektor asuransi di Indonesia, dan meningkatkan kestabilan serta keberlanjutan industri keuangan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H