16 Desember 2019, dengan menumpang Go-Carsaya kembali ke hotel dari Kebon Binatang Surabaya di tengah hujan lebat. Sepanjang perjalanan saya benar-benar terkaget-kaget melihat perubahan Surabaya yang sudah sekitar 7 tahun tak pernah lagi saya kunjungi. Semua terlihat rapi, tempat yang dulu kumuh jadi rapi dan yang paling mengagetkan, sungainya jadi bersih. Tak ada lagi kesemrawutan dan sampah-sampah plastik mengambang. Di jalananpun nyaris tak ada sampah plastik berserakan.
Kepada saya, sopir Go-Car yang bercerita, kalau sekarang petugas kebersihan benar-benar berkomitmen. Mereka tak akan pulang kalau sampah masih berserakan. Mereka begitu bersemangat bekerja karena menurut sang sopir, mereka digaji relatif tinggi (Saya lupa dia menyebut angka entah 4 juta atau 5 juta).
"Karena bersih, warga seperti saya juga jadi segan membuang sampah di jalan," terangnya. Rasa bangganya pada walikotanya sama sekali tak dia tutup-tutupi dalam nada bicaranya.
Begitulah Surabaya di musim kering, menggaji mahal pasukan pembersih. Mereka bekerja keras membersihkan sungai dan selokan, mengeruk lumpur serta kotoran yang menyebabkan pendangkalan sungai. Sehingga dasar sungai sudah siap menampung besarnya volume air ketika hujan datang.
Sampai saat ini, untuk Surabaya, berita banjir belum saya dengar. Entah karena di sana memang tak ada banjir atau saya yang kurang informasi.
Bagi sebagian besar kita, ini adalah kabar baik.
Tapi kabar baik kadang menjadi kabar buruk bagi yang mendapat manfaat dari kesialan. Contohnya bagi partai ANU yang diketahui orang se-Indonesia Raya sebagai partai yang selalu jeli mengambil celah manfaat dari bencana apapun baik yang terprediksi maupun tidak, baik di dalam maupun di luar negeri buat mempromosikan partainya.
Apa yang terjadi di Surabaya, membuat partai ini tak mendapat momentum buat pamer jasa dan mengais simpati. Di Surabaya, di tengah musim penghujan ini, saya belum mendengar berita kader dan pendukung partai ANU dengan penuh simpati membantu warga sambil dengan gagah mengibarkan bendera partainya dan digaungkan di medsos oleh jutaan BUZZER nya, eh mujahid medsosnya.
Strategi berbeda 180 derajat dipakai oleh si "kamu tahu siapa," sebelum musim penghujan tiba. Alih-alih menyiagakan mesin pompa, menyiapkan sungai, waduk dan gorong-gorong untuk menerima limpahan air. Si "Kamu tahu siapa" manusia yang mendapat previlege bebas dari salah dan dosa ini, menjelang musim penghujan malah memotong anggaran penanggulangan banjir. Lalu minta rakyat berdoa, supaya kota yang dia pimpin dijauhkan dari bencana.
Seperti sopir bis malam yang akan berkendara di malam hari, mencopoti lampu-lampu bisnya lalu minta penumpang berdoa, supaya bis yang mereka tumpangi tidak celaka.
Tapi yah, kita tahu semualah. Namanya takdir Tuhan tidak begitu bekerjanya. Saat menciptakan alam ini, sang Khaliq melengkapinya dengan hukum sebab akibat. Pengecualian yang kita kenal sebagai MUKJIZAT, hanya diberikan kepada teramat sangat sedikit orang tertentu saja.