Bonus demografi untuk Indonesia emas 2045 tidak akan menjadidistopia indah semata. Sebab menurut buku Proyeksi Penduduk Indonesia 2015-2045yang disusun oleh Bappenas[1] dan BPS[2],bonus demografi akan ditemani dengan lonjakan populasi menembus 300 juta jiwa (Bapennas, 2018). Dari sekian besar angka populasi ini, ada dua ironi yang membuat kita skeptis terhadap prediksi kejayaan Indonesia 2045. Pertama, semakin banyak populasi berarti semakin banyak kebutuhan pangan.
Fakta membuktikan bahwa lahan pertanian semakin tergeser dengan proyek pembangunan real-estate, ditambah dengan merosotnya minat generasi pemuda digital native untuk menjadi petani atau nelayan (Susilowati, 2016). Padahal, Indonesia telah meratifikasi masterplan ketahanan pangan sebagai poin kedua SDGs 2030 sejak 2 Agustus 2015 (Ishartono, 2016). Patutkah kita beroptimis apabila generasi pembangun Indonesia emas 2045masih belum terpenuhi gizi sebagai perkembangan intelejensinya?
Kedua, berkenaan dengan peningkatan output limbah, hal ini terjadi karena surplus populasi yang lahir hingga 2045 akan menghasilkan beragam polutan tambahan. Data Kementrian Lingkungan Hidup menyebutkan bahwa sisa makanan (sampah dapur) menjadi penyumbang limbah terbesar Indonesia (Amir, 2016).
The Economist Intelligence Unit 2016 juga menganugerahkan Indonesia sebagai negara dengan limbah makanan terbesar nomor dua di dunia (Bisara, 2017). Jumlah makanan yang terbuang sia-sia (Food waste) mencapai 13 juta ton. Angka fantastis itu dapat memenuhi kebutuhan makan 11% dari populasi Indonesia atau sekitar 28 juta dari 250 juta penduduk. Angka 28 juta hampir setara dengan keseluruhan penduduk miskin di Indonesia tahun 2018 (BPS, 2018). Sungguh ironis bukan?
Implikasi negatif dari food waste tidak selesai disitu. Memproduksi makanan memiliki operational cost yang sangat besar. Pasalnya, produksi melibatkan subsidi tani, impor sebagai penyebab defisit neraca dagang, hingga hyper-farming yang menghasilkan pencemaran limbah pupuk-pestisida (Brigita, 2013).
Pembuangan makanan akan meningkat sebab bisnis kuliner kian meroket dengan tren kebiasaan Eating out (Yuliawati, 2018), dan cukup miris apabila makanan layak konsumsi disimpan hingga membusuk atau dibuang, sedangkan sebagian masyarakat lain kelaparan hingga anaknya terjangkit stunting. Melihat problematika yang mengancam seluruh strata masyarakat menuju 100 tahun Indonesia, sebuah digital platform yang bernama "BagiKan!" kami kembangkan untuk mengatasi masalah redistribusi makanan sebagai kebutuhan pokok dan limbah makanan secara bersamaan, dengan mudah dan efisien.
"BagiKan!" datang dengan terobosan teknologi platfrom berbasis Global PositioningSystem (GPS) yang dapat diakses lewat aplikasi, website, dan sms-gateway. "BagiKan!" secara sederhana menghubungkan user yang memiliki makanan/bahan makanan baik dalam keadaan utuh, sisa, atau tidak layak makan untuk diditribusikan kepada pihak yang membutuhkan dengan lokasi akurat. Dalam platfrom ini, semua dapat berbagi, baik sebagai donatur makanan ataupun distributor.
Kondisi makanan yang didistribusikan antara lain seperti makanan berlebih yang masyarakat hasilkan secara tak terduga seperti penjualan usaha kuliner yang tidak sesuai target, bahan masakan dan makanan yang tersisa setelah hajatan dan acara organisasi, ataupun murni memasakkan untuk yang membutuhkan tanpa repot melakukan survei.
Pendistribusian makanan dengan kondisi tersebut dapat melewati skema jual dengan harga minimalis, atau didonasikan dalam bentuk amal. Sedangkan bagi makanan sisa tidak layak makan dan membasi, maka makanan tersebut akan disalurkan ke user "BagiKan!" Seperti Usaha KecilMenengah (UKM) produsen pelet ikan dan ternak, hingga petani yang membutuhkanbahan pupuk. BagiKan memiliki urgensi yang sangat tinggi sebab berbagai upayadi sektor ketahanan pangan dan reduksi limbah masih mengalami jalan buntu.
Pertama, urgensi "BagiKan!" Muncul disaat dua program unggulan pemerintah bernama KRPL[3] dan BEKERJA[4] sebagai upaya ketahanan pangan danpemenuhan kebutuhan gizi masih mengalami kendalaoperasional (Putri et al., 2015). Hal ini terjadi sebab prioritas negara sungguhlah banyak,apalagi organisasi relawan (NGO[5])berbagi makanan seperti HungerBank yang kapabilitas operasinya rendah.
Rendahnya kapabilitas ini dikarenakan tidak menentunya bantuan donatur,keterbatasan tenaga lapangan, sulitnya penyimpanan distribusi makanan terpusat,dan sulitnya pemetaan target donasi makanan yang terpencar. Berbeda dengan HungerBankyang berjalan secara konvensional, GiFood datang dengan solusi berbagi makananonline. Hanya saja, platform hanya terbatas di situs website dan bekerja dengancara sharing makanan lewat linimasa seperti Facebook yang tidak menjajikankeberlanjutan program.