Lihat ke Halaman Asli

Daun hijau

Apa yang harus diterangkan, jika suram lebih menawan

Mimpi yang Patah

Diperbarui: 5 April 2019   17:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pixabay

Wan, mimpi itu jauh sekali rasanya. Aku ingin menyerah saja. Kamu lihat, banyak teman kita jatuh di lubang ketidakmampuan itu. Mereka roboh, Wan. Mereka menumpahkan mimpi itu di tengah jalan, berserakan, terhina.

Wan, kubuang saja mimpi ini. Mungkin kita tak pantas bermimpi. Kita hanya orang kampung yang lebih sering makan ubi dari pada nasi. Kita kembali ke kebun, membawa cangkul, mengais kehidupan dari sebatang ubi.

Wan, aku hanya menunggu waktu saja. Meluruhkan mimpi, memakai jas dan berdasi. Pena dan buku ini berat di tanganku. Ayah dan ibu renta, tak punya banyak tenaga. Cangkul tak punya jiwa ditangannya.

Aku tak rela, Wan. Mereka tersiksa di hari tua. Biar aku saja yang bekerja. Biar ayah lebih tenang menghirup kopi hitamnya di rumah. Biar ibu tenang menanak ubi kehidupan di rumah.

Aku harus rela, Wan. Menjadi kuli di tanah sendiri. Sampai mati.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline