Lihat ke Halaman Asli

Guru, Hirosima, dan Pena

Diperbarui: 25 November 2017   11:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

6 Agustus 1945. Pagi itu pukul 8.15 waktu Jepang. Sebuah pesawat AS B-29 Flying Superfortress bernama Enola Gay (nama yang aneh) yang dipiloti oleh Letkol Paul W. Tibbets, dari sekitar ketinggian 9.450 m, terbang melintasi kota Hirosima. Agak sedikit ragu dan gemetar, Tibbets mesti menjalankan perintah menjatuhkan Bom Atom "Little Boy" di atas kota Hirosima, Jepang. Ini perintah negara dan Tibbet harus taat. Bom itu jatuh dan sekejap kota Hirosima hilang dari tatapan Tibbet karena dahsyatnya ledakan Little boy. Tibbet sempat menulis kisahnya saat itu.

"Satu cahaya yang terang memenuhi pesawat," begitu tulis Tebbits.
"Kami memutar pesawat kembali untuk melihat Hiroshima. Kota tersebut tersembunyi di balik awan yang mengerikan itu... mendidih, mengembang berbentuk jamur."
Setelah itu Tibbet dan kopilotnya diam tercegang. Tak lama berselang, "Lihat itu! Lihat itu! Lihat itu.....! " seru kopilot Robert Lewis sambil memukul bahu Tibbets. Lewis mengatakan ia bisa merasakan pembelahan atom -- proses yang terjadi ketika bom atom meledak. Rasanya seperti timah hitam. Ia lalu berbalik untuk menulis dalam catatannya. "Tuhan," tanyanya pada diri sendiri, "Apa yang telah kami lakukan?"

Tibbet dan Lewis merasa takut dan bersalah atas apa yang terjadi. Mereka tahu, Hirosima hancur bahkan dengan cara yang amat menakutkan. Boleh jadi ada segerombolan anak yang bermain sambil tertawa ria lenyap seketika.
Itu pagi Hirosima. Saat pagi orang merasa optimis tentang hari, orang memiliki harapan untuk saat yang baru. Tapi di Hirosima, pagi menjadi malam yang kelam. Tetes embun mungkin belum sempat kering.
Saat itu, pagi kelam Hirosima merenggut sekitar 250.000 nyawa dan sisanya terluka parah. Belum terhitung dampak radiasi yang begitu masif. 

Tiga hari sesudahnya, kota Nagasaki mengalami nasib serupa.
Segera sesudah itu, Sang Kaisar, Hirohito mendapat laporan dari menterinya tentang peristiwa kejam itu. Jepang hancur dibom atom oleh sekutu. Rakyat Jepang banyak yang mati bergelimpangan, sisanya sekarat karena terkena radiasi bom atom. Mendapati berita itu, sang Kaisar spontan bertanya, "Berapa banyak guru yang masih hidup?" Menteri terkejut, keberatan, dan bangkit bertanya,  "Mengapa paduka menanyakan jumlah guru yang hidup? Yang Mulia, saya sebagai anggota tentara keberatan atas pertanyaan Yang Mulia. Mengapa justru guru yang Yang Mulia tanyakan, dan bukan tentara? Sebab, banyak sekali tentara kita yang meninggal di Laut Cina Selatan, di Borneo, Celebes, Papua, Burma, dan lain-lain. Mereka mati untuk membela Tanah Air dan Kaisar."

Situasi Hirosima dan Nagasaki saat itu ambruk. Segalanya hancur. Tapi, sedih saja tidak cukup. Kalau mau hidup, mereka harus bangkit, bukan terbuai  ratapan tanpa akhir. Kaisar sadar bahwa senjata bisa  membunuh manusia tapi ia tak bisa melenyapkan harapan. Sebab itu ia ingin membangun harapan itu kembali dengan semangat para guru.  Seorang guru adalah dia yang mengajarkan bahwa pena itu lebih tajam dari segala senjata yang pernah ada dan ledakannya lebih dahsyat dari si "Little Boy" yang meluluhlantahkan Hirosima. Ketajaman pena itu melampaui ketakutan Tibbet dan Lewis, tentu juga optimisme AS. Jika dua bom masif itu menyebabkan kehancuran, kegelapan, dan ketakutan bahwa besok mungkin tak ada lagi maka inspirasi seorang guru hadir seperti lilin kecil yang memberikan cahaya dan harapan bahwa hari belum berakhir. 


Selamat Hari Guru, teruslah bercahaya hai para guru, terima kasih untuk jasa tiada taranya....




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline