Tulisan ini sebenarnya lebih merupakan sharing dan refleksi pengalaman mengajar yang masih seumur jagung. Beberapa waktu yang lalu saya membagikan hasil ujian anak didik saya untuk mata pelajarab yang saya ampu. Saya meminta anak-anak untuk menyimpan hasil ujian itu di folder mereka masing-masing.
Saat itu saya lupa membawa pembolong kertas sehingga saya meminta salah satu anak yang memiliki pembolong kertas untuk bisa berbagi menggunakan dengan teman yang lain. Saya amati hampir tak satu pun siswa yang mengucapkan terima kasih pada temannya setelah dia menggunakan pembolong tersebut.
Yang membuat saya trenyuh adalah dalam ujian tersebut saya menanyakan apa yang harus mereka katakan pada orang lain yang telah berbuat baik pada mereka dan tak ada satu pun yang keliru menjawab pertanyaan tersebut. Mereka menjawab bahwa kebaikan mesti dibalas dengan ucapan terima kasih, namun ketika ada teman yang memberikan pelobang kertasnya pada teman lain tak ada satu pun yang mengucapkan terima kasih.
Saya sadar bahwa saya proses pembelajaran untuk subjek yang saya ampu masih pincang. Saya berhasil mengajarkan mereka mendefinisikan terima kasih tapi belum berhasil mendorong mereka untuk mengucapkan terima kasih. Saya berhasil membantu mereka berusaha mendapatkan nilai/skor yang tinggi dalam ujian tetapi belum berhasil mendorong mereka untuk bertanya apa guna mendapat nilai yang tinggi.
Jika demikian, beoleh jadi mereka merasa bahwa kesempurnaan angka skor ujian merupakan tujuan tertinggi dan kebanggaan utama dalam proses pendidikan. Sejak saat itu saya berusaha untuk memfokuskan diri pada usaha yang kedua, yaitu mendorong mereka untuk bertanya pada diri sendiri "apa yang harus saya lakukan dengan skor tinggi yang sudah saya dapatkan?"
Kita selalu menjumpai berbagai diskusi tentang pentingnya pendidikan karakter pada level pendidikan sekolah dasar. Lalu apa arti pendidikan karakter yang sebenarnya? Bagi saya secara pribadi pendidikan karakter bukan terletak pada kurikulum, bukan terletak pada silabus, juga bukan terletak pada buku-buku pelajaran. Pendidikan karakter tidak dimulai bukan dengan membangun kurikulum yang super modern, juga bukan dengan buku yang dirancang oleh ahli dengan gelar yang berderet-deret.
Pendidikan karakter dimulai dengan kesadaran dari guru untuk mendorong siswanya untuk mengkonversikan skor tertulisnya menjadi kesadaran etis, mendorng siswanya untuk tidak berhenti pada skor tinggi setelah ujian tetapi berlanjut pada komitmen untuk menjadi pribadi yang berguna pada orang lain.
Seorang guru seharusnya lebih mencemaskan anak didiknya yang tidak mampu memberikan salam dan senyum pada petugas kebersihan sekolah ketimbang pada muridnya yang terus mendapatkan nilai merah. Saya tidak sedang mengatakan bahwa skor ujian itu tidak penting. Skor itu penting sebagai sebuah evaluasi terhadap proses pemahaman siswa.
Tetapi betapa miskinnya pendidikan kita juga hanya menjadikan skor sebagai target belajar. Anak yang mendapatkan nilai merah bisa mendapatkan nilai merah sangat bisa didampingi untuk mendapatkan nilai yang lebih baik melalui kursus intensif sedangkan anak yang sudah hilang kesadarannya untuk minta maaf, berterima kasih, serta menyapa orang lain sangatlah sukar untuk diarahkan kembali. Bisa, tapi butuh waktu yang cukup lama.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H