Permasalahan sampah adalah salah satu hambatan menahun yang terus momok bagi penduduk dan pemerintah dalam menjaga kebersihan lingkungan. Membuang sampah bahkan sudah menjadi kebiasaan yang lazim untuk dilakukan dan bagian dari hidup yang beririsan kian dekat. Tidak pernah berpikir bagaimana akhirnya, penduduk cenderung melakukan ini sebagai hal yang lumrah.
Banjir lagi-lagi menjadi pengingat akan bahaya dari masalah lingkungan sebagai akibat konsistensi kebiasaan membuang sampah sembarangan. Namun, haruskah banjir yang terus menjadi pengingat dari masalah ini?
Sungai Cikapundung, misalnya. Anak Sungai Citarum yang terpanjang di Kota Bandung ini mengalami dampak dari kebiasan perilaku masyarakat dalam membuang sampah sembarang. Terdapat ribuan rumah penduduk di aliran sungai yang membuang limbah mencapai 2,5 juta liter setiap harinya. Mayoritasnya merupakan limbah rumah rumah tangga masyarakat.
Karena jumlah yang begitu besar, tentunya masalah lain yang timbul akibat dari lingkungan tak terjaga juga ikut tak terhindari, yaitu meluapnya air sungai ke permukiman.
Ratusan rumah dipastikan terendam banjir karena kelalaian penduduk dalam menjaga masalah lingkungan yang ada di sekitar bantaran Sungai Cikapundung. Yadi Supriadi, Sekjen Komisaris Sungai Jawa Barat, menyampaikan bahwa caranya menghabiskan waktu ketika mengecek sungai tidak lepas dari upaya memungut sampah yang berserakan.
Tumpukan sampah yang bercampur dari mulai organik dan anorganik terus bertambah. Semakin hari semakin banyak, dengan bertambahnya tingkat pertumbuhan pendudukan yang selaras dengan meningkatnya sampah di berbagai daerah maupun sungai. Apalagi jika terjadi peningkatan volume air dengan intensitas curah hujan yang tinggi.
Akar rumput dan pohon bambung yang bercampur dengan sampah sudah sepantasnya menjadi perhatian bagi masyarakat untuk sadar dengan kebersihan lingkungan yang ada dari mulai hulu hingga hilir sungai.
Urgensi kebersihan Sungai Cikapundung didasarkan pada fungsinya sebagai salah satu sumber air bersih bagi warganya. PDAM Tirtawening bahkan menggunakan sumber air dari Sungai Cikapundung untuk melakukan distribusi kepada masyarakat. Debit yang diambil + 840 l/dtk, 200 l/dtk kemudian diolah di Instalasi Pengolahan Badaksinga. Sedangkan 600 l/dtl diolah di Instalasi Pengolahan Dago Pakar dan 40 l/dtk diolah di Mini Plant Dago Pakar.
Tingkat kesadaran masyarakat akan kebersihan sungai masih sangat minim. Kepedulian penduduk akan bahaya membuang sampah sembarang khususnya dalam aliran sungai sumber air bersih tidak membuat niat mereka sirna.
Berbagai pengetahuan bahkan ilmu yang diterapkan dalam sekolah hanya menjadi sebuah teori belaka dengan nilai praktek yang jauh dari kata sempurna. Beginilah nyatanya, perilaku warga sekitar nyatanya belum mampu memiliki efek yang besar untuk menjadi sebuah solusi masalah lingkungan di Sungai Cikapundung.
Upaya masyarakat yang sudah berada dalam jalan buntu mau tidak mau menjadi mendorong pemerintah untuk segera melakukan usaha sebagai tindakan penanganan akan krisis yang sudah terjadi.