Lihat ke Halaman Asli

Willy Sitompul

Pekerja sosial

Semangat Soekarno Justru di Kubu Sebelah?

Diperbarui: 10 Agustus 2018   11:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Analisis Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Haedah! Gara-gara pengumuman capres dan cawapres akhirnya saya bisa menulis lagi. Memang rasanya tidak tahan ingin mengungkapkan sesuatu. Ada semacam perasaan membuncah yang harus segera diredakan setelah menyimak pengumuman tadi malam.

Dan betul! Ketika saya buka laman Kompasiana dan laman sebelah, sudah banyak artikel tentang hal ini. Sebagian besar menyatakan kecewa dengan pilihan Jokowi. Sebagian lagi mencoba bersikap positif untuk tetap memilih Jokowi. Tidak golput. Golput bukan pilihan. Dan lain sebagainya.

Saya? Kecewa? Pasti! Siapa yang tak kecewa? Kecewa sambil mencoba menghibur diri kalau ini hanya bagian strategi politik Jokowi, angkat Ma'ruf dulu dan di tahun kedua dia "dipaksa" mundur dengan alasan kesehatan dan Mahfud MD atau siapapun itu bakal tampil menggantikan Pak Ketua MUI? Yah, skenario ini bisa saja benar dan kemungkinan besar malah salah. 

Siapa yang tak tergoda dengan kekuasaan dan rela melepasnya begitu saja? Seandainya lepas pun pasti penggantinya dari Partai yang sama? Harus kader NU? Tampaknya memang sulit, apalagi setelah menyimak konferensi pers yang dilakukan oleh Ma'ruf yang menjelaskan kenapa akhirnya NU memutuskan untuk berpolitik. Hanya karena masalah "direken" dan "nggak direken" pemerintah. Sampai bawa-bawa nama Habibie segala.

Terus bagaimana? Ikutan golput juga? Belum diputuskan sih, tapi bisa jadi. Setelah pengumuman oleh Jokowi semalam, saya mencoba menunggu apakah ada secercah harapan di kubu sebelah. Ternyata hingga hampir jam 12 malam menunggu ternyata benar-benar tanpa harapan. Sempat saya berpikir, kalau "meniupkan" nama Sandiaga adalah strategi sang Jenderal "baper" agar Jokowi segera mengumumkan cawapresnya. 

Strateginya kira-kira begini: Sandiaga bukan ulama. Jadi, kubu sebelah "tak mereken" hasil ijtima ulama. Maka, Jokowi harus mengambil dari kalangan ulama dan begitu nama ulama dari kubu Jokowi diumumkan, maka muncullah nama sang pangeran "SIAP" mendampingi Prabowo. Muda, tampan, elektabilitas paling tinggi sebagai cawapres, dan bisa meraih suara kaum milenial dan ibu-ibu di dapur. Bukankah sang Jenderal memang dikenal sebagai ahli strategi yang mumpuni?

Ternyata justru tak ada strategi sama sekali! Betul-betul Sandiaga yang menjadi cawapres Prabowo. Atau justru inilah strateginya. Berhubung kaum milenial dipandang berperan penting entah sebagai pemilih pemula atau sebagai "buzzer" gratisan untuk mendulang suara dalam Pilpres mendatang, makanya dianggap penting untuk menunjukkan "jiwa muda" sebagai cawapres. Dan -- ini yang paling penting -- kalau ada orang muda di internal, ngapain bawa-bawa sang pangeran "SIAP"? Cerdas sekali! (Walaupun dibilang kardus)

Nah, akhirnya saya dapat judul untuk artikel ini. Berhubung saya teringat dengan kata-kata Soekarno tentang orang muda. Semangat itu kelihatannya tampak di kubu sebelah untuk saat ini. "Berikan aku sepuluh pemuda, maka akan...." Ah sudahlah, kita lihat saja nanti. Belum tentu menang juga.

Paling tidak perasaan membuncah saya sudah reda.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline