Lihat ke Halaman Asli

Willy Sitompul

Pekerja sosial

“Jaringan Orang Hilang” – Sebuah Refleksi tentang Berjejaring di Pegunungan Tengah Papua

Diperbarui: 25 Juni 2015   04:37

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Suatu kali saya tersentak mendengar sebuah acara dialog interaktif di sebuah stasiun radio milik pemerintah di Wamena. Kenapa tersentak? Begini ceritanya, dalam dialog interaktif tersebut ada seorang narasumber lokal yang menerangkan bagaimana HIV dapat menular dari satu orang ke orang yang lain, pertama-tama saya ikuti - narasumber lokal tersebut berbicara dengan bahasa Indonesia yang sedikit dipaksakan – semua penjelasannya masuk akal. Dari mulai penularan melalui ibu ke bayi (walaupun tidak terlalu detail) hingga transfusi darah. Yang membuat saya tersentak adalah pernyataan narasumber tersebut ketika berbicara mengenai nyamuk. Dengan terang-terangan narasumber tersebut mengatakan bahwa nyamuk juga menularkan HIV! Wow!

Segera setelah itu terlintaslah ide dalam diri saya untuk paling tidak menyamakan persepsi beberapa lembaga yang bekerja di bidang penanggulangan HIV dan AIDS di Jayawijaya. Bukan berarti merasa hebat atau paling jago, tapi paling tidak persepsi dasar yang sama harus dimiliki oleh semua lembaga yang bergerak di bidang penaggulangan HIV dan AIDS. Saya kemudian bergerak, mencoba menghubungi beberapa teman termasuk Komisi Penanggulangan AIDS Daerah. Ternyata gayung bersambut! Kamipun berencana melakukan pertemuan menyamakan persepsi ini namun dibungkus dengan tema Candlelight Memorial pada waktu itu.

Surat-surat undangan mulai diketik, dari KPAD memberikan beberapa nama tokoh kunci dari berbagai LSM yang ada di Jayawijaya. Tidak hanya itu, himbauan dalam bentuk ajakan untuk berpartisipasi dalam acara Candlelight bersama juga disiarkan di satu radio pemerintah dan satu radio swasta. Beberapa LSM menyatakan oke untuk bergabung, LSM yang lain tidak memberi jawaban sama sekali. Yang paling lucu, ada surat yang diantarkan ke sebuah LSM tapi ternyata tidak ada orang sama sekali. Yang ada hanya tukang sapu. Ketika ditanyakan, tukang sapu hanya mengernyitkan dahi dan mengangkat bahu. Hmm........................

Lepas dari kesediaan teman-teman LSM untuk menyamakan persepsi, KPAD sebagai kordinator justru mengalami banyak masalah internal. Masalah yang paling dasar adalah ketersediaan dana dan kesulitan dalam mengorganisir sekian banyak lembaga dan atau institusi yang ada di Jayawijaya. Padahal jika dilakukan pemetaan banyak sekali sumber daya yang ada di Jayawijaya ini. Misalnya, sudah ada lembaga khusus yang melakukan pendampingan kepada ODHA. Ada lembaga atau LSM yang khusus mengurus penyebaran informasi kepada kelompok perilaku resiko tinggi. Ada juga LSM yang khusus bermain di media baik itu lewat media radio maupun dalam bentuk Iklan Layanan Masyarakat (ILM) di media cetak. Kalau kordinasinya baik tentunya baik itu penyebaran informasi, pendampingan, dan hal-hal lain bisa dilakukan bersama-sama. Sharing resources bisa terjadi di antara LSM. Misalnya, ketika LSM A selesai melakukan bagiannya dalam bentuk penyebaran informasi kemudian ada yang bertanya kemana harus periksa dan siapa yang bisa mendampingi, maka LSM A tinggal menghubungi LSM B yang punya spesialisasi di pendampingan. Namun sayang kenyataannya tidak begitu. Masing-masing LSM sepertinya sibuk menjaring orang-orangnya atau bahasa kerennya itu beneficiaries atau penerima manfaat. Malah kalau mendengar cerita di Merauke ada LSM yang menolak ODHA dalam lingkup mereka diberikan pengetahuan tentang pengembangan ekonomi oleh LSM lain. “Ngga bisa ini ODHA kami...”. Nah lu! Untungnya di Jayawijaya belum seperti ini (atau mungkin sudah tapi saya tidak tahu...)

Ada lagi cerita yang ironis tentang LSM di Jayawijaya. Ada LSM lokal yang mengganti nama hanya untuk mendapatkan dana. Ini menarik karena ternyata uang untuk program HIV & AIDS ini sangat banyak sehingga harus dibagi-bagikan ke berbagai institusi. Bahasa kerennya bermitra. Lha mitranya ganti nama doang kok masih dikasih dana ya? Tapi pengalaman saya bekerja dengan LSM lokal ini ternyata baik-baik saja. Walaupun ada beberapa materi yang saya tulis dalam bentuk power point secara terang-terangan diterjemahkan ke bahasa lokal dan dipakai tanpa menyebutkan nara sumbernya, namun saya tidak protes. Hanya senyum saja dan berkata “ngga apa-apa Pak, pakai saja..” ke pimpinannya ketika akhirnyaketahuan dan mereka datang minta maaf.

Tibalah saatnya hari H yaitu saatnya berkumpul dan berseminar tentang berbagai update di bidang penanggulangan HIV & AIDS. Ketua harian KPAD sudah tiba dan duduk di depan. Hati mulai cemas karena peserta dari LSM lain belum ada yang datang. Hanya beberapa tokoh agama yang sengaja kita undang untuk dapat sedikit pencerahan dan bisa membagikan ke jemaatnya. Ternyata setelah satu jam menunggu, tidak satupun dari LSM lain yang datang. Ada yang sms: “kebetulan hari ini kami rapat bulanan...” Wah, dengan wajah sedikit dipaksakan senyum ketua harian membuka acara pertemuan. Penyamaan persepsi tinggallah mimpi yang belum bisa diwujud-nyatakan. Yang ada akhirnya hanya penyampaian informasi satu arah. Tokoh agama pun manggut-manggut. Mereka ternyata sangat antusias. Sebagian bilang: “Acara begini ini boleh...karena selama ini kami kurang pemahaman jadi...” (logat Papua)

Rasa sedikit kesal datang juga pada diri saya, sebenarnya apa yang salah ya? Saya pun berusaha melakukan introspeksi dengan team. Mungkin sebaiknya lain kali jangan kita yang mengundang, karena kesannya kita menggurui LSM lain. Begitu kata salah satu staf saya. Saya setuju dengan pendapatnya itu. Arogansi sepertinya memang menjadi masalah di sini. Saya tiba-tiba termenung saat itu dan mencoba flash back ketika pernah mau mencoba membuat modul pelatihan anak-anak sekolah dan ketika ternyata sudah ada beberapa modul dari organisasi lain termasuk UNICEF saya pun memutuskan untuk memakai apa yang sudah ada ketimbang harus buat baru.

Memang sulit kalau arogansi dipertahankan. Bikin pertemuan untuk menyamakan persepsi saja sulitnya minta ampun. Sampai kadang-kadang saya berpikir sendiri, kalau memang semua LSM sibuk. Semuanya menyatakan bekerja dengan baik kenapa ngga ada perubahan ya? Kenapa masih ada orang-orang yang salah persepsi memberikan informasi? Tidak hanya orang awam tapi juga komentar para pejabat di lingkungan kabupaten juga kadang mispersepsi. Apa jadinya ya ke depan nanti? Informasi dasar saja masih sering salah persepsi, bagaimana dengan informasi mengenai pengobatan yang jauh lebih complicated dalam menerangkannya. Jangan-jangan jaringan yang ada selama ini hanya menjadi jaringan orang hilang yang hanya tinggal nama saja tapi orang-orangnya tidak ada dengan alasan sibuk sana-sini ketika dicari dan dibutuhkan.

Setiap LSM yang bergerak di bidang HIV dan AIDS setidaknya harus peduli dan mengedepankan tujuan dan bukan organisasi. Yang harus dilakukan adalah berjejaring dengan sesama LSM bukannya menjaring target atas nama beneficiaries. Kerendahan hati untuk mengakui LSM lain yang memang lebih pakar di bidangnya dan mau bekerjasama haruslah ditumbuhkan. Lagipula menurut saya lembaga donor justru akan lebih senang kalau dengan budget yang sedikit bisa mencapai hasil yang lebih besar. Hasil yang lebih besar bagaimana? Kalau ada keterbukaan mengenai target, kalau semua dilakukan bersama-sama untuk mencapai target itu dan bukan dilakukan masing-masing.

Akhirnya, sebelum saya menutup tulisan ini. Ijinkanlah saya menjelaskan sedikit kenapa nyamuk tidak menularkan HIV. Pertama, nyamuk hanya mengisap darah, tidak pernah mengeluarkannya. Kedua, kalau nyamuk menghisap darah tentunya langsung masuk ke lambung nyamuk dimana suasananya adalah asam. Ingat, HIV tidak suka berada dalam suasana asam. Virus tersebut langsung mati dengan suasana asam atau basa yang significant. Ketiga, kalau memang nyamuk bisa menularkan HIV tentunya populasi orang dengan HIV akan sama jumlahnya untuk semua umur karena nyamuk menggigit semua usia toh? Dia ngga pilih-pilih menghisap darah anak-anak atau dewasa saja. Sedangkan nyata-nyata untuk kasus infeksi HIV lebih banyak terdapat pada usia kerja atau reproduksi aktif.

Sebenarnya ceritanya belum selesai. Ketika saya selesai menjelaskan kepada tokoh-tokoh agama mengapa nyamuk tidak menularkan HIV, saya mengajukan satu pertanyaan andalan kepada mereka: “Yang menggigit itu nyamuk jantan kah atau nyamuk betina?”

Anda bisa jawab?

(Tulisan ini saya buat di bulan Juli tahun 2010 untuk mengikuti lomba menulis JOTHI, saya post ulang di sini karena lagi bingung saja tidak ada bahan tulisan ;-) mudah-mudahan bermanfaat)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline