Lihat ke Halaman Asli

Difabel dan Minoritas di Tempat Kerja Bukan Masalah

Diperbarui: 3 Maret 2018   11:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Fasilitas di Tempat kerja (gambar: popmagazine.com)

Sejak dahulu keberagaman menjadi cerita yang cukup menarik untuk di bahas entah di berbagai bidang, khususnya di lingkungan kerja. Masih banyak hal -- hal yang bisa di sebut sebagai masalah "klasik" bagi berbagai pekerja mulai dari karyawan, buruh, maupun pekerja sampingan.

Berbagai kasus yang menguak ke publik mulai dari gender, ras, agama dan lain -- lain akhirnya mencuat. Sebut saja kasus dimana seorang karyawan Google yang berjenis kelamin perempuan membuat memo di mana ia menyebut terdapat lebih sedikit karyawan perempuan disana karena adanya stereotip pembeda di lingkungan kerja.

Setelah hal ini terkuak ke publik  pun akhirnya CEO Google Sundar Pichai angkat bicara dan mengatakan bahwa memo yang biasanya di gunakan oleh para karyawan untuk melakukan komunikasi informal seperti itu dapat merusak kode etik Google. Penyebab nya bukan lain adalah masalah yang mengatakan bahwa kemampuan tiap gender dikatakan berbeda sebagian karena alasan biologis, dan itulah mengapa jarang kita melihat wanita dalam hal perkembangan teknologi.

Baiklah pada tahap yang kita sebut "kemampuan" masing-masing individu memang berbeda, tapi apakah menjadi alasan bahwa kita dapat memberi label suatu golongan tertentu dalam hal performa yang akan seorang ini berikan nantinya? Mari kita lihat lebih jauh lagi.

Tanpa basi -- basi, mari kita langsung ke titik yang paling ekstrim, Cacat Fisik dalam hal apakah tiap tempat kerja dan lingkungan kerja mendukung individu dengan beberapa keterbatasan fisik, seperti penggunaan pembaca layar atau teknologi lainnya .

pada sebuah studi yang dilakukan oleh UK Charity Scope misalnya menemukan bahwa sekitar 2 dari 3 orang merasa kurang dan tidak nyaman berbicara dengan orang cacat, dan lebih dari sepertiga orang cenderung yang berpikir individu dengan cacat fisik tidak seproduktif orang "normal" di tempat kerja. Lebih tinggi dari prasangka terhadap jenis kelamin maupun ras.

Seperti di anak-tirikan banyak fasilitas umum yang seharusnya untuk penyandang cacat, di pergunakan tidak selayaknya oleh orang-orang awam yang memang memiliki tingkat edukasi di bawah rata-rata. Padahal hukum di negara ini telah menyatakan bahwa semua orang dilarang mendiskriminasi penyandang cacat seperti tertulis pada UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, kemudian di pertegas oleh UU No. 4 tahun 1997.

Yang menarik adalah adanya peraturan 1 persen tiap perusahaan yang masih menjadi mitos bagi orang-orang disabilitas, adanya ketimpangan antara kuota dan kebutuhan pasar membuat hal ini menjadi rumit.

Dikatakan pada  berbagai sumber bahwa ketika perusahaan membuka lowongan kerja bagi kalangan disabilitas, tak ada yang melamar, pada satu sisi komunitas penyandang cacat mengatakan tidak ada yang ingin mempekerjakan mereka. Setelah di selidiki ternyata kendalanya berada pada latar belakang tingkat pendidikan oleh penyandang terkait. Memang tidak menutup kemungkinan bahwa banyak perusahaan yang sebetulnya tidak ingin mempekerjakan para '1 persen' ini.

Kembali ke pertanyaan di atas, adakah perbedaan kinerja antara orang cacat dengan individu yang dikatakan normal?, pada sebua studi dari Safe Work Australia dijelaskan, bahwa pekerja dengan cacat fisik lebih jarang bolos kerja dan atau mengalami cidera saat bekerja. Dari itu biaya pengobatan yang harus dikeluarkan oleh perusahaan lebih rendah.

Pada sebuah penelitian oleh sebuah organisasi Pendukung SDM dengan cacat fisik, The Australian Network on Disability (AND) membuka pandangan baru. Dari AND sendiri memberi pernyataan bahwa  Penyandang cacat  nyatanya lebih loyal dan memiliki komitmen tinggi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline