Kalau berkunjung ke Myanmar/Burma kita bisa temukan beberapa hal unik berikut ini--selain dari pemandangan "longyi", mengunyah sirih dan pupur "thanaka" di mana-mana ataupun makanan khasnya, "mohinga"--yang tidak kita jumpai di Indonesia.
***
Di negeri Buddhis yang sangat relijius ini tentu hal yang banyak kita lihat adalah para biksu. Lho, negara tetangganya--Thailand atau Laos--kan juga Buddhis, apa bedanya? Pertama, jubah biksu Myanmar warnanya berbeda dengan biksu di Laos/Thai, yaitu merah hati/marun. Jumlah dan proporsi biksu di Myanmar adalah yang terbesar di antara negara-negara Buddhis. Kita di mana-mana, tidak hanya di tempat ibadah, sepanjang hari pasti berjumpa dengan biksu--dari yang masih imut sampai yang sudah sepuh. Di Myanmar juga terdapat biksuni--yang jumlahnya juga banyak--dengan jubah mereka yang cantik berwarna merah jambu. [caption id="attachment_238621" align="aligncenter" width="300" caption="Khas Myanmar: Biksuni berjubah pink dan biksu dengan jubah merah hati di suatu sudut kota Yangon. (Foto: Williandry) "][/caption] Biksu sangat dihormati di Myanmar. Sebutannya saja dalam bahasa Myanmar “pongyi”, bermakna “kemuliaan yang besar”. Tiap pagi mulai subuh mereka meminta sedekah ke penduduk, bahkan pada saya yang sedang duduk di pinggir jalan atau menunggu di terminal bus. Para warga pun tampak sudah siap menyambut di depan rumah atau toko mereka dengan makanan. Yang unik, biksuni saat meminta selalu melantunkan semacam bacaan sementara biksu diam saja. Bagaimana jika biksuni/biksu mendatangi dan meminta pada kita yang kebetulan non-Buddhis (seperti yang saya alami saat di sana--yang mungkin karena wajah serupa dengan orang Myanmar)? Silakan memberi jika mau dan kalaupun tak memberi tidak apa-apa, mereka tidak marah kok. [caption id="attachment_238620" align="aligncenter" width="300" caption="Dua biksu cilik sedang meminta sedekah pagi di sebuah warung di Pakokku, divisi Magwe. (Foto: Williandry) "]
[/caption] [caption id="attachment_239073" align="aligncenter" width="300" caption="Para biksuni cilik berramai-ramai mencari sedekah di tengah pasar di Mandalay. (Foto: Williandry)"]
[/caption] Selanjutnya, hal yang banyak terlihat di negeri ini adalah pagoda (hpaya). Sepertinya tidak ada landscape di Myanmar yang tanpa pagoda. Di atas bukit, di tepi sungai hingga di tengah ladang dan kota dapat kita temui ada bangunan kerucut ini. Pagoda merupakan simbol sang Buddha maupun tempat menyimpan relik, umumnya berwarna putih atau dicat emas, bahkan ada yang dilapisi emas beneran! Pagoda di Myanmar khasnya memiliki "hti" atau semacam "payung" kerucut berwarna emas di puncaknya. Di depan pagoda biasanya ada sepasang patung cinthe (singa) sebagai penjaga. Kadang ada pula tiang tinggi dengan patung angsa di atasnya, simbol istri Siddharta Gautama. [caption id="attachment_238619" align="aligncenter" width="300" caption="Pagoda Shwezigon di Monywa, divisi Sagaing, di malam hari. Di depan pagoda ada sepasang "cinthe" penjaga dan di puncaknya terdapat payung kerucut emas atau "hti". (Foto: Williandry)"]
[/caption] [caption id="attachment_238626" align="aligncenter" width="300" caption="Pagoda-pagoda di sebuah desa di Pakokku, divisi Magwe. Lihat, payung-payung emas menghiasi puncak pagoda. Ini adalah ciri khas pada pagoda Myanmar. (Foto: Williandry) "]
[/caption] Saat masuk kompleks pagoda--seperti halnya di masjid--kita harus melepas alas kaki. Perhatikan pula posisi kaki kita. Kaki, bagian terbawah tubuh, dianggap tidak sopan dalam etiket Myanmar. Karenanya, kaki tidak boleh mengarah/menuding ke pagoda maupun patung Buddha sehingga harus dilipat ketika duduk di kompleks pagoda. Warga Buddhis Myanmar sangat welcome dengan turis non-Buddhis yang mengunjungi pagoda. Bahkan, kalau ingin menaruh bunga, menyiramkan air di patung Buddha (ritual unik yang bisa kita temukan di Pagoda Shwedagon di Yangon) atau memukul genta tidak dilarang kok. Yang penting, tetap menghormati etiket setempat. [caption id="attachment_238618" align="aligncenter" width="300" caption="Warga Buddhis Myanmar di Pagoda Shwedagon, pagoda termegah dan tersuci di Yangon. Menurut etiket Myanmar, di pagoda tidak boleh memakai alas kaki dan saat duduk kaki ditekuk agar tidak menuding ke pagoda yang merupakan simbol sang Buddha. (Foto: Williandry)"]
[/caption] [caption id="attachment_238690" align="aligncenter" width="300" caption="Melepas alas kaki sebelum memasuki kompleks Pagoda Shwedagon di Yangon. (Foto: Williandry)"]
[/caption] Patung Buddha di Myanmar berbeda dengan Thailand. Buddha versi Myanmar umumnya digambarkan tersenyum manis dan tampak "cantik", dengan bibir dan kuku dicat pink dan kadang diberi bulu mata yang lentik. Hal ini membuat kita turut tersenyum saat melihatnya. Patung Buddha gaya Myanmar ini konon menonjolkan sisi kebaikhatian sang Buddha. Buddha di Myanmar juga banyak yang diberi "halo" (lingkaran di belakang kepala, tanda orang suci) yang dihiasi lampu warna-warni yang kerlap-kerlip seperti lampu diskotik. [caption id="attachment_238691" align="aligncenter" width="300" caption="Patung Buddha khas Myanmar. Buddha digambarkan sangat manis dan tampak ayu dengan bibir serta kukunya berwarna merah muda! (Foto: Williandry) "]
[/caption] [caption id="attachment_238692" align="aligncenter" width="300" caption=""Halo disko" yang kerlap-kerlip di kepala patung-patung Buddha di kompleks Pagoda Shwedagon. (Foto: Williandry)"]
[/caption]
Aksara Myanmar berbentuk mlungker-mlungker bak ulat, tampak lucu bagi saya yang berbahasa memakai huruf Latin. Bahasa yang dominan dipakai adalah bahasa Bamar (Bama-zaga/Burmese), yang merupakan etnis terbesar di sana. Saya lihat penyerapan kata-kata dari bahasa Pali/Sanskerta ke dalam bahasa ini terlihat seperti bahasa remaja "alay" yang manja. Contohnya, kata "sri" dalam bahasa Bamar menjadi "thiri", "wijaya" jadi "wizaya" (seperti kata "sayang" diplesetkan jadi "tayang" dan "aja" jadi "aza").
Dari tengah Yangon, kota terbesar Myanmar, sampai desa-desa di tepi sungai Irrawadi terdapat tempayan-tempayan bertaburan di mana-mana--di depan rumah/toko, di bawah pohon, di tepi jalan--disertai dengan gelas kaleng/plastik. Tempayan ini berisi air minum yang didonasikan dan disediakan oleh para warga, bebas boleh diminum oleh siapa saja. Banyak pula yang menaruh galon plastik sebagai pengganti tempayan tanah liat yang tradisional. Di pinggir-pinggir jalan berdekatan dengan tempayan air minum dapat pula terlihat bangunan yang dimaksudkan untuk pondok persinggahan bagi mereka yang sedang berperjalanan. Menyediakan air minum dan tempat istirahat untuk musafir ini merupakan amal yang dianjurkan sang Buddha dan diyakini mendatangkan karma baik.
[caption id="attachment_238695" align="aligncenter" width="300" caption="Tempayan berisi air minum untuk umum khas Myanmar di tepi jalan di Bagan, divisi Mandalay. Lihat, di puncak pagoda putih di latar belakang terdapat "hti". (Foto: Williandry)"]
[/caption] [caption id="attachment_238696" align="aligncenter" width="300" caption="Tempayan-tempayan air minum untuk umum yang disediakan oleh warga di pusat kota Yangon. Lho, di mana gelasnya? Ternyata gelasnya ada di bawah caping-caping penutup itu. (Foto: Williandry)"]
[/caption] [caption id="attachment_238697" align="aligncenter" width="300" caption="Pondok peristirahatan dan air minum yang disediakan untuk umum, khususnya musafir, di tepi sebuah jalan di Monywa, divisi Sagaing. (Foto: Williandry)"]
[/caption] Selain itu, kita bisa lihat di depan rumah bahkan tempat usaha penduduk tergantung ikatan batang-batang padi untuk makanan burung gereja. Tiap pagi kita dapat lihat para warga melempari biji jagung di pinggir jalan memberi makan burung-burung dara. Di Yangon, yang majemuk dan multietnis, kebiasaan-kebiasaan ini tidak hanya dilakukan oleh penduduk "pribumi", tapi juga oleh warga keturunan India yang Muslim dan Hindu maupun Tionghoa. [caption id="attachment_238698" align="aligncenter" width="300" caption="Padi-padi diikat dan digantung untuk makanan burung gereja di depan sebuah ruko di lingkungan pemukiman keturunan India di Yangon. Galon-galon putih yang tampak adalah air minum untuk umum sumbangan warga. (Foto: Williandry)"]
[/caption] [caption id="attachment_238699" align="aligncenter" width="300" caption="Suasana pagi yang tipikal di Yangon dengan warganya menyebarkan biji jagung di tepi jalan, memberi makan burung merpati. (Foto: Williandry) "]
[/caption] Di negeri Ibu Aung San Suu Kyi ini kita juga temukan di batang atau bawah pepohonan ada altar kecil dengan patung di dalamnya, tapi bukan patung Buddha. Apa ya ini? Ini adalah altar “nat”. Nat adalah roh-roh para tokoh yang menurut legenda meninggal mengenaskan. Nat diyakini bisa marah dan membawa bencana karenanya perlu disenangkan. Bahkan, untuk menyenangkan nat ada semacam upacara di mana tokoh utama ritual, yakni orang-orang yang berdandan memerankan nat--umumnya para transgender, seperti bissu di budaya Bugis–menari-nari dan minum alkohol hingga “kesurupan”. Penyembahan nat ini sudah ada jauh sebelum Buddhisme datang ke tanah Myanmar. Konon, di abad ke-11 raja Anawrahta di Bagan yang memutuskan memeluk agama Buddha Theravada dan menjadikannya agama negara di Kerajaan Burma berusaha menghapuskan praktik ini, namun ditentang oleh rakyatnya. Raja akhirnya "berkreasi" dengan menetapkan nat-nat yang ada menjadi 37 nat dan membuat nat seolah sebagai pengikut Buddha. Penyembahan nat ini sebenarnya bertentangan dengan ajaran Buddha, namun rupanya sulit menghilangkan tradisi yang sudah melekat dari jaman pra-Buddhisme tersebut. [caption id="attachment_238701" align="aligncenter" width="300" caption="Altar dan patung nat di bawah sebuah pohon di desa di Mandalay. Di samping altar terdapat tempayan air minum. (Foto: Williandry)"]
[/caption] Di Myanmar akan banyak kita lihat, terutama di toko atau tempat usaha lainnya, ada gambar atau boneka dari kertas berwarna emas berupa dua ekor burung hantu yang unyu. Apa pula ini? Ternyata, sepasang burung hantu jantan dan betina ini adalah perlambang hoki. Ada pula gambar atau boneka lucu yang berbentuk seperti telur berdiri dengan wajah orang yang tersenyum. Ini disebut “pyit taing htaung”, artinya “yang selalu berdiri walaupun dijatuhkan”, yang merupakan simbol semangat pantang menyerah. [caption id="attachment_238702" align="aligncenter" width="300" caption="Boneka kertas sepasang burung hantu simbol keberuntungan khas Myanmar yang digantungkan di sebuah angkutan pedesaan di Pakokku, divisi Magwe. (Foto: Williandry)"]
[/caption] [caption id="attachment_238706" align="aligncenter" width="300" caption=""Pyit taing htaung" yang selalu tegak pantang menyerah tergambar di plang sebuah toko di Yangon. Boneka dari kertas atau patung pyit taing taung juga sering kita temukan di rumah atau toko penduduk. (Foto: Williandry)"]
[/caption] Di negeri seribu pagoda ini kita bakal temui di tepi atau trotoar jalannya di mana-mana kedai minum teh dengan kursi dan meja yang mungil-mungil. Kedai-kedai ini merupakan tempat para penduduk Myanmar, utamanya kaum prianya, bersantai, berkumpul dan bersosialiasi--semacam warkop kalau di Indonesia. Selain teh, di kedai-kedai ini juga dijajakan makanan ringan, termasuk mohinga. Olahraga tradisional yang populer dimainkan di Myanmar adalah sepak takraw, atau "chinlone" dalam istilah Myanmar. Di mana-mana bisa kita lihat kaum pria, dewasa dan anak-anak bahkan termasuk juga para biksu, terlihat asyik bermain sepak takraw. [caption id="attachment_239079" align="aligncenter" width="300" caption="Kedai minum teh semacam ini banyak sekali kita lihat di mana-mana di Myanmar, dengan kursi (mungkin lebih tepatnya "dingklik"--kata orang Jawa) dan mejanya yang mungil-mungil. (Foto: Williandry)"]
[/caption] [caption id="attachment_239150" align="aligncenter" width="300" caption="Bocah-bocah bermain "chinlone" atau sepak takraw di depan pagoda di Pakokku, divisi Magwe. Sepak takraw adalah olahraga tradisional yang sangat populer di Myanmar. (Foto: Williandry)"]
[/caption] Kendaraan di Myanmar berjalan di sisi kanan, padahal sebagai bekas jajahan Inggris awalnya di sisi kiri. Hal ini diubah pada tahun 1970 oleh perdana menteri saat itu, Ne Win, yang konon mendapat nasihat dari ahli nujumnya bahwa negara akan baik jika dilakukan perubahan jalannya kendaraan di jalan ke sisi kanan. Terdengar menggelikan namun hal ini tidaklah mengherankan sebab astrologi dan peramalan, walaupun dilarang dalam Buddhisme, memang masih sangat kental dalam masyarakat Myanmar. [caption id="attachment_239171" align="aligncenter" width="300" caption="Di jembatan di atas sungai Irrawadi, melintas dari divisi Magwe ke divisi Mandalay. Perhatikan, kendaraan berjalan di sisi kanan meskipun kebanyakan kendaraan di Myanmar dengan setir untuk berjalan di sisi kiri. (Foto: Williandry) "]
[/caption] Orang Myanmar sepertinya suka sekali dengan warna turquoise. Dari kedubesnya di Jakarta, flat kumuh di Yangon hingga rumah di desa-desa dinding bangunannya banyak yang dicat dengan warna ini. Di rumah-rumah Myanmar biasanya akan kita lihat adanya bentukan kotak kecil menyembul di salah satu dinding. Ternyata ini adalah tempat menaruh altar Buddha. [caption id="attachment_239077" align="aligncenter" width="300" caption="Flat-flat di Yangon yang bercat turquoise, warna yang sepertinya sangat populer di Myanmar. Tampak pula kedai minum teh yang sangat jamak di Myanmar di pinggir jalan gang ini, dengan kursi dan meja yang mungil-mungil. (Foto: Williandry) "]
[/caption] [caption id="attachment_238704" align="aligncenter" width="300" caption="Sebuah rumah di desa di Pakokku, divisi Magwe, dengan cat warna turquoise. Perhatikan pula bentukan kotak yang menonjol di dindingnya, tempat meletakkan altar Buddha. (Foto: Williandry)"]
[/caption] Bagi traveler Muslim, tentu akan mencari makanan yang halal. Di Myanmar simbol halal di kedai atau warung makan biasanya tidak dengan huruf Arab bertuliskan kata “halal” ataupun Latin, melainkan kode angka: “786″. Yang bisa menyulitkan, kadang kita lihat kode ini ditulis dengan angka dalam aksara Myanmar saja, tanpa angka Latin! Karenanya, perlu diketahui dan dicatat bagaimana bentuk angka 786 dalam aksara lokal. Tapi, jangan khawatir, yang lebih mudah amati saja penjual Muslim (yang kebanyakan keturunan India) yang umumnya berkerudung atau berpeci. Atau, carilah masjid setempat (atau “bali” dalam bahasa Myanmarnya). Di sekitar masjid biasanya ada warga Muslim yang menjual makanan. [caption id="attachment_238703" align="aligncenter" width="300" caption="Kode halal "786" dalam aksara Myanmar dan Latin di plang sebuah kedai jajanan di Mandalay. Bagi pengguna huruf Latin seperti saya, aksara Myanmar tampak lucu dengan bentuknya yang bulat melingkar-lingkar. (Foto: Williandry)"]
[/caption]
***
Demikian sekilas berbagai hal menarik yang saya lihat di Myanmar. Myanmar adalah negara miskin yang bertahun-tahun penduduknya terkungkung dalam tirani dan teror junta militer. Karena hal ini, dalam berbagai bidang kehidupan Myanmar masih terbelakang daripada negeri kita tercinta dan bangsa Asia Tenggara lainnya. Sekitar 30% warganya hidup di bawah garis kemiskinan. [caption id="attachment_238705" align="aligncenter" width="300" caption="Anak dan wanita yang menjadi kuli bangunan di Monywa, divisi Sagaing. Pekerja anak amat banyak kita temukan di Myanmar, dari pelayan rumah makan hingga kuli angkut di pasar. (Foto: Williandry)"]
[/caption] Meskipun begitu, mungkin banyak yang tidak tahu bahwasanya Myanmar, surprisingly, adalah salah satu negara paling aman di dunia bagi para pelancong. Penduduknya ramah dan lugu. Mereka, dalam pengalaman singkat saya, selalu sumringah dan excited melihat warga negara tetangga yang datang berkunjung ke negeri mereka, sertadengan baik menyambut dan membantu saya yang baru sekali ini berpergian seorang diri ke luar negeri. Ce zu tin ba deh, terima kasih, Myanmar!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H