Saat berkesempatan mengunjungi negaranya Ibu Aung San Suu Kyi, saya mencoba mencicipi (selain "mohinga") masakan Myanmar karena penasaran seperti apa kulinernya--yang kurang begitu terkenal dibandingkan negara tetangganya Thailand. Salah satu tempat makan yang saya kunjungi adalah rumah makan Myanmar "Hopin" di Pakokku, kota kecil di tepi barat sungai Irrawadi, di divisi Magwe. Makan di sini mengingatkan saya dengan restoran Padang. Seperti di rumah makan Padang, di sini piring/mangkok yang disajikan banyak banget! Saya sampai mengulang-ulang mengambil foto karena ternyata masih ada terus makanan yang datang. [caption id="attachment_239231" align="aligncenter" width="495" caption="Rumah makan "Hopin" di Pakokku: Kirain udah segini aja yang disajikan... (Foto: Williandry)"][/caption] [caption id="attachment_239232" align="aligncenter" width="495" caption="Eh, ternyata datang lagi, datang lagi, dan jadi segini! (Foto: Williandry)"]
[/caption] Makanan pokok di Myanmar sama sih dengan kita, nasi juga. Myanmar dahulu pernah menjadi negara pengekspor beras terbesar dan disebut sebagai "the Rice Bowl of Asia". Piring untuk nasi biasanya kosong, lalu datanglah panci berisi nasi dan pelayan menaruhkan nasi ke piring. Nasi yang diberikan cukup banyak, bisa untuk nambah 3-4 kali. Lauk yang disediakan berupa ikan, ayam atau daging sapi/domba/babi. Saya kebetulan memilih ayam saja. Lauk umumnya dimasak menjadi semacam kari dengan banyak minyak. Banyak yang menyebut masakan Myanmar oily alias berminyak karena minyaknya yang melimpah. Minyaknya kebanyakan dari minyak kacang tanah, ada pula yang dari santan. Adapun sayuran yang disajikan begitu beragam. Selain capcai, ada sayur labu kuning (yang jadi favorit saya!), acar kacang merah rebus plus bawang merah, sayur kentang dan buncis, dan sayur asem daun kacang. Ya, di sini juga ada sayur asem, lengkap dengan aroma terasinya. Terasi Myanmar disebut "ngapi" terbuat dari ikan namun aromanya kurang begitu kuat dibanding terasi di Indonesia. Lalapan juga tersedia. Yang asing bagi saya di sini diberikan daun mint dan daun jeruk purut sebagai lalapan. Bagi mereka yang vegetarian atau tidak memilih makan dedagingan rasanya tidak sulit untuk mencari makanan di Myanmar yang dengan sayur-mayur sebanyak itu. Kalau tidak mau daging, minta saja menu "theq thaq luq" yang berarti "lifeless". Di Myanmar di mana-mana saya lihat cabai disajikan berupa bubuk cabai merah kering, kadang ditambahkan dengan potongan kecil-kecil ikan asin. Di rumah makan ini ternyata juga disajikan sambal, termasuk sambal cabai hijau. Sementara di sebuah rumah makan Myanmar di Bagan, divisi Mandalay (foto bawah) selain lauk disajikan pula sayur bening, jagung manis, lalapan dan sayur plus rebung yang rasanya sangat asam. [caption id="attachment_239238" align="aligncenter" width="495" caption="Ya, lagi-lagi cabai merah kering! (Foto: Williandry)"]
[/caption] Yang unik lainnya adalah untuk pencuci mulut disediakan gula merah (dari pohon siwalan/lontar yang banyak tumbuh di Myanmar) yang berbentuk bulat kecil-kecil seukuran buah kemiri. Saya awalnya pikir ini untuk pemanis minuman, ternyata bukan. [caption id="attachment_239233" align="aligncenter" width="495" caption="Ini dia untuk pencuci mulutnya... Gula merah! (Foto: Williandry)"]
[/caption] Satu lagi hal yang saya perhatikan jamak di Myanmar adalah banyaknya anak-anak bekerja sebagai pelayan, baik di rumah makan maupun di kedai kaki lima. Siap-siap trenyuh sepanjang menyantap makanan melihat mereka yang seharusnya bersekolah namun terpaksa mencari nafkah. Lantas, adakah fast food di Myanmar? Di negeri yang bertahun-tahun tertutup dari serbuan kapitalis global ini--walaupun mulai terbuka sekarang--hingga saat saya ke sana belum terlihat ada McD's, KFC dan kawan-kawannya. Tapi bukan berarti makanan yang tersaji cepat tidak ada, lho! "Nilar Biryani" adalah salah satunya, yang merupakan rumah makan "cepat saji" (maksudnya di sini tersaji sangat cepat walaupun sebenarnya "slow food") terkenal dan tertua dengan banyak cabangnya di kota Yangon--dan juga halal. Yang tersedia tentunya berupa biryani, makanan khas India--ada ayam, domba dan ikan. Saya mencoba yang ayam. Bumbunya sedap, daging ayamnya empuk dan gurih. Suka! [caption id="attachment_239243" align="aligncenter" width="440" caption=""Fast food" di Myanmar: Biryani ayam di "Nilar Biryani" di Yangon. (Foto: Williandry) "]
[/caption]
Nah, bagaimana dengan jajanan di Myanmar? Jajanan yang ditemui di Myanmar banyak yang berupa makanan khas Asia Selatan, seperti paratha dan dosa. Yang unik, ada makanan yang disebut "mont lin ma yar", artinya "kue suami dan istri"--mungkin karena cara makannya dua kue ditangkup jadi satu. Jajanan ini berisi telur puyuh atau chickpeas dan daun bawang. Ada pula gorengan dan rujak (sekali lagi, dengan bubuk cabai kering tentunya). [caption id="attachment_239357" align="aligncenter" width="486" caption="Salah satu jajanan populer di Myanmar, kue "suami-istri", yang dijajakan di pasar malam di Monywa, divisi Sagaing. (Foto: Williandry)"]
[/caption] [caption id="attachment_239359" align="aligncenter" width="495" caption="Ada rujak juga... (Foto: Williandry)"]
[/caption] [caption id="attachment_239360" align="aligncenter" width="495" caption="Dan ada pula goreng-gorengan. (Foto: Williandry)"]
[/caption] Selain dari India, pengaruh Tiongkok juga ada dalam makanan Myanmar (Myanmar terletak di antara dua negeri besar ini), yakni dalam bentuk berbagai jenis mi. Salah satunya seperti foto di bawah, yaitu "mi swan", mi beras dengan kuah kaldu ayam. [caption id="attachment_239356" align="aligncenter" width="495" caption=""Mi swan" dengan acar dan gorengan di Mandalay. (Foto: Williandry)"]
[/caption] Oh ya, ada satu lagi makanan khas yang dianggap makanan nasional Myanmar, namun saya tidak sempat cicipi, yaitu "lahpet" atau daun teh yang difermentasi. Lahpet ini biasanya disajikan dalam bentuk salad dengan bahan-bahan lain. [caption id="attachment_239355" align="aligncenter" width="480" caption="Rebung dan bubuk cabe merah kering dijual di pasar tradisional di Mandalay. Di sisi kiri atas yang berwarna hijau adalah "lahpet" atau daun teh yang difermentasi--khas Myanmar. (Foto: Williandry)"]
[/caption]
~~~
Demikian sedikit pengalaman saya incip-incip makanan Myanmar. Dan masih banyak lagi jenis dan ragam makanan di sana. Sayangnya, tidak sedikit turis "bule" menulis di forum-forum traveling bahwa--menurut mereka--kuliner Myanmar kurang "maknyus". Tapi, menurut lidah saya, enak-enak kok!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H