Persis disebelah rumah pak Rustam ada pondokan kecil pengrajin meubel, siang itu saya kesana untuk melihat-lihat apa yang sedang dikerjakan Mas Yanto sebagai pemiliknya, rupanya beliau sedang menokok-nokok paku membuat kursi sekolah yang harus selesai sebelum jatuh tempo masa pengerjaan. Kehadiran saya dipondok ini hanya diliriknya sebentar sambil senyum dan melanjutkan aktifitasnya, saya pun kemudian duduk dibangku panjang yang ada disitu sambil mengamati apa yang dikerjakan mas Yanto, dia terus memaku-maku untuk merakit kursi-kursi kayu itu, kemudian menggergaji, memaku lagi, begitulah berulang-ulang aktifitas mas yanto yang terlihat 10 menit pertama saya dipondoknya. Lalu dia menarik nafas panjang mungkin kecape’an dan meletakkan palu yang dipegangnya itu keatas tatakan yang ada disampingnya, dia terlihat menghentikan pekerjaannya, kulihat keringat di dahi dan mukanya lumayan deras, membuat raut mukanya mengkilap dan beberapa detik kemudian reflek mengelap keringat di bagian muka dengan baju kaos yang dipakainya, lalu dia minum, mengambil rokok, mancis dan berjalan kearahku.
“Ah ginilah bang, kalo kerja sendiri dan dikejar target, waktunya udah mepet juga, tapi sukurlah udah 60 kursi hampir selesai, hehehehe”, Begitulah sentil mas yanto membuka pembicaraan denganku.
“Heheheh,.. mau ndak maulah mas, namanya juga kerja, jalani waelah, kalo capek ya istirahat dulu” sahutku pula.
“Lagi ngerjain apa disini bang?” tanya mas yanto padaku,
“Kebetulan ada pertemuan mas, soal hutan desa yang ada disini, ya seperti menggali manfaat keberadaan hutan buat masyarakat disini gitu, jawabku.
“Wah, kalo gitu abang dari kehutanan ya? Tanya mas yanto,
“Bukan mas, saya sama dengan mas yanto cuma masyarakat biasa, kebetulan aja ada kegiatan terkait dengan hutan disini”
“Oooo, hehehee, kirain tadi abang dari kehutanan”
“Emangnya kalo dari kehutanan kenapa mas?”
[caption id="attachment_167544" align="aligncenter" width="640" caption="SUNGAI SIAU KABUPATEN MERANGIN"][/caption] “Ya ngak enak aja bang, soalnya pernah ada yang nanya kayu disini darimana, ya saya jawab dari masyarakatlah bang, saya cuma ambil upah buat meubelnya aja”
“Hehehehe, kalo gitu biasa ajalah mas, sekedar nanya ya wajarlah mas, mungkin udah tugasnya kehutanan begitu, trus kalo masyarakat disini ngambil kayu darimana mas?” tanyaku,
“Kurang tau juga bang, tapi disinikan masih banyak kayulah, disekitar rumah juga ada kok, namanya juga dusun bang, kalo di kebun-kebun apalagi, pokoke ngak susahlah kalo cuma untuk buat lemari, meja, kursi dan rumah, masi adalah di kebun-kebun masyarakat dan sekitar kampong ini, bagi masyarakat yang minta dibuatin meja, kursi, lemari biasanya masing-masing dari mereka udah siap dengan kayunya juga bang”.
[caption id="attachment_167525" align="aligncenter" width="448" caption="JEMBATAN GANTUNG DURIAN RAMBUN"]
[/caption] “Oooo, yo wislah mas, kalo sebatas itu rasanya udah otomatis dari dulu mas, aku gak heran kalo disini gampang bikin perabotan seperti kursi dan sebagainya dari kayu, karena emang bahan bakunya masi mudah ditemui, kecuali kalo dikota mas, perabotan rumah tangga udah banyak beralih ke plastik, kaca, besi, beton, seng, besi, plat, karena emang kayu udah langka atau sulit dan mahal, hukum alam kali mas”. Ujarku.
“Hehehehee, gitulah bang hidup di desa ada kurang ada lebihnya juga, eh iya, ini ada gorengan bang, hayo ojo isin-isin dimakan bang” ajak mas yanto menawarkan goreng pisang yang tersisa dua potong dipiring plastic ijo yang dari tadi terletak tak jauh dari tempat duduk kami.
“Nah, kalo ini saya ndak bisa nolak mas, inilah kelebihan di desa, masih ada makanan yang bisa dibuat dari hasil tanaman sendiri, kalo di kota beli semua mas” selorohku,
“Ah aku tadi yo beli juga bang, disini goreng pisang banyak dijual diwarung-warung atau mamang yang biasa wara-wiri montoran itu”
“Oh gitu ya, hehehehe, kirain tadi buat sendiri, oaalah”
“Pisang si ada bang, tapi belum masak, lagian dari pagi bojoku pergi kerumah ibunya gitu, biasa ngejak anak main-main kerumah neneknya, sebelum mereka pergi ada mamang motor lewat makanya kami tadi beli aja”
“Hmmm, pantes kecil-kecil goring pisangnya, kalo buat dari tanaman dewe mungkin lebih besar dan enak nih mas” selorohku,
“Hehhehe, maklumlah harga barang naik terus bang, mungkin biar masih kejangkau dengan kantong masyarakat, jadi ukuran pisangnya aja di kecilin, heheheheh, payahlah mas jaman sekarang” ujar mas Yanto,
“Hmmm, gitu ya” sautku sambil mengunyah goreng pisang itu.
Mas yanto kemudian berdiri dan berjalan masuk kedalam rumahnya yang satu atap dengan mebeul disebelahnya, tak lama kemudian keluar membawa ceret plastic dan 2 buah cangkir yang kemudian menaruhnya dilantai bagian tengah tempat saya dan dia duduk.
“Ayo diminum bang!, cuma air putih bang, mau masak nanti kelamaan”, kilahnya,
“Ah mas bisa aja, air putih inilah yang sehat dan menyegarkan mas, apalagi mas yang udah keluar keringat banyak”
[caption id="attachment_167523" align="aligncenter" width="448" caption="SUNGAI SIAU YANG JERNIH DAN BERSIH"]
[/caption] “Ya ginilah bang, kalo saya sehari bisa banyak kali minum air putih, maklum kerjanya keras bang, heheheeehehe”
Akupun kemudian menuangkan ceret kedalam cangkir yang satunya lagi, kulihat air ini bening sekali, ketika diminum rasanya benar-benar menyegarkan, hmmm !
“Kalo air ini ngambil dimana mas?” tanyaku,
“Ah kalo disini air melimpah ruah bang, gak jadi pikiranlah, tuh dibawah sana abang liat sendiri ada air mancur, nah itu air dari sungai Siau, siang-malam ga ada habisnya, mau buat mandi, minum, nyuci, bebaslah” katanya menjelaskan padaku, lalu dia melanjutkan,
[caption id="attachment_167522" align="aligncenter" width="448" caption="AIR TERJUN MUKUS SUNGAI SIAU"]
[/caption] “Kami disini dari dulu ya begitulah bang, soal air gak repot seperti orang yang hidup di kota-kota, pake pam dan bayar, kalo disini ngak bang, tinggal cari bambu, selang atau pipa trus disambung-sambung nyampelah air ke rumah, ya sepuasnya mau dipake buat apa, gak bayar bang, hehehehe”
Dalam hati telak bener nih sindiran mas yanto, abis kenyataannya begitu sih, mas Yanto sendiri sebenarnya berasal dari pulau jawa tepatnya Semarang, dia memilih hidup disini (mungkin) lantaran ber-istri dengan penduduk di desa ini, selain factor jodoh dan garisan hidup tentunya, Ah daripada mengira-ngira kenapa tidak kutanyakan langsung aja, semoga dia mau bercerita yang sesungguhnya pikirku, xixixixi,.
[caption id="attachment_167527" align="aligncenter" width="300" caption="AIR MENGALIR PAKE BAMBU"]
[/caption] “Jadi gimana si mas ceritanya kok sampean akhirnya mantap disini?” tanyaku,
“Wah, agak panjang juga ceritanya bang, singkatnya sih gara-gara pas aku buat PLTMH di desa ini, taun 2009 atau berkisar 3 tahun yang lalulah”.
“Emang kenapa mas tiga taun yang lalu?” tanyaku
Kemudian dia menjelaskan panjang lebar tentang proses instalasi atau pembangunan PLTMH di desa ini, rupanya mas Yanto salah satu Tukang sekalian ahli dalam merakit atau membangun PLTMH, Dan dia sejak sekolah (STM) sudah keliling indonesia dalam rangka pembangunan PLTMH, yang secara umum banyak dibangun di daerah-daerah dataran tinggi karena sungainya ber-arus deras dan belum tersentuh dengan listrik atau PLN.
[caption id="attachment_167528" align="aligncenter" width="448" caption="TURBIN PLTMH DI KOTO RAMI"]
[/caption] Menurutnya, pembuatan PLTMH hingga pemasangan instalasi kerumah-rumah warga membutuhkan waktu kurang lebih 18 bulan, setelah itu biasanya disambung dengan masa perawatan. Nah di desa ini adalah desa terakhir baginya ikut dalam proyek PLTMH mungkin karena ketemu jodoh dengan perempuan di desa ini, setelah beres masa pembangunan PLTMH disini mas Yanto kemudian bertahan hidup dengan jasa pertukangan atau meubelnya seperti sekarang ini, begitulah garis besar yang kutangkap dari penjelasan mas Yanto kenapa dia akhirnya menetap di desa ini.
[caption id="attachment_167529" align="aligncenter" width="300" caption="KIPAS TURBIN PLTMH KOTO RAMI"]
[/caption] “Wah-wah-wah, menarik juga pengalaman hidup mas ini rupanya, udah puas keliling nusantara lagi” sambutku ketika dia selesai memberikan penjelasannya.
“Ya begitulah bang, kebetulan konsultan PLTMH itu nenek saya sendiri, jadi sekalian kerja dan bantu keluargalah bang”
“Lho, kenapa gak ikut terus mas, kan lumayan bisa kerja dan bantu keluarga juga?”
“Ah, udah cukuplah bang, aku kepengen mandirilah sekarang, ikut keluarga terus apa kata orang nantinya, walaupun harus berpisah jauh seperti ini”
“Hmmm, iya sih stiap orang memang kudu mandiri, salut juga aku dengan pilihan hidupmu mas”
[caption id="attachment_167530" align="aligncenter" width="448" caption="DAM DI SUNGAI SIAU PLTMH KOTO RAMI"]
[/caption] “Disini aku mulai dari nol lagi bang, harus kerja keras biar berhasil, yaaaa biar terus hiduplah, nanti kalo berhasil biar mereka (keluarga) menilainya sendiri”
“Yoyoyo, betul itu” ujarku.