Tuntutan pekerjaan sepertinya tidak pernah habis di kantor. Baru saja duduk di kursi kantor, sudah terlihat pekerjaan kemarin sedang menyapa kita duluan. Belum lagi nanti ada pekerjaan yang sudah menanti.
Waktu kerja dari pukul 8 pagi sampai 5 sore rasanya tidak cukup untuk menyelesaikan semua itu. Itu saja sudah termasuk jam istirahat makan siang.
Bagaimana dengan tingkat kesabaran kita? Apakah sudah tidak sanggup menerima semua tugas yang menumpuk dan tugas yang sudah menunggu giliran berikutnya untuk dipelajari dan dieksekusi?
Sobat Kompasiana, apakah kalian pernah atau bahkan sering mengalami hal tersebut di tempat kerja?
Apakah kita lantas akan quit saja? Atau setidaknya menerapkan Quiet Quitting?
Eits, jangan terburu-buru dulu mengambil langkah seperti itu. Karena hampir semua tempat kerja atau kantor memiliki dinamika yang serupa.
Setidaknya itulah yang pertama kali harus kita pertimbangkan sebelum menyerah dan resign dari tempat kerja. Bahkan penerapan filosofi Quiet Quitting pun tidak mampu membantu agar tetap bekerja di sana dengan lama.
Penerapan Quiet Quitting pada akhirnya akan terjadi suatu aktivitas kerja yang monoton, tidak produktif, dan tanpa perolehan pengetahuan serta keterampilan yang baru.
Seperti kita ketahui bahwasanya perolehan pengetahuan dan keterampilan yang baru dan bermanfaat akan sangat membantu bagi perkembangan jenjang karir kita.
Tetapi kalau kita hanya bertahan dengan Quiet Quitting sudah pasti kesempatan tersebut akan hilang. Apalagi untuk resign. Karena jika kita selalu menyerah dan resign dari tempat kerja baru, ini akan membentuk pola pikir yang lemah dan mental yang tidak tangguh.