Di antara riuh gonjang ganjing pro dan kontra hukuman mati di negeri ini yang masih menyisakan perdebatan, muncul pula cerita getir, miris, sekaligus menggelikan dari cerita jilid III eksekusi hukuman mati yang membawa serta terpidana mati kasus Narkoba, Freddy Budiman, kepada hembusan nafas terakhirnya (Jum'at,29/07/2016) di Lapas Nusakambangan.
Bagaimana tidak? Kesaksian ruwetnya sekonyong-konyong mengguncang dunia penegakan hukum di Indonesia dengan sejumlah pertanyaan. Apakah negeri ini benar-benar menjadi neraka yang dapat berujung maut bagi para gembong Narkoba, ataukah sebaliknya menjadi surga bagi peredaran jaringan Narkoba internasional karena 'jaminan' kelancaran oleh oknum penegak hukum?
Menggelikannya karena kesaksian ruwet yang menampar wajah para petinggi hukum ini 'dinyanyikan' oleh orang yang sedang menjelang detik-detik ajal menjemputnya, dan baru diungkap setelah ia meninggal dunia karena ganjaran hukuman mati yang menimpanya, yang tentu saja akan menyulitkan pembuktian hukum akan kebenaran isi berita tersebut.
Bak menerima amplop wasiat terakhir yang isinya teka-teki. Tak tanggung-tanggung 'wasiat' terakhir gembong Narkoba ini menyeret nama besar Lembaga anti Narkotika sekelas BNN, juga ada di antaranya petinggi Polri dan oknum TNI dituding ikut bertanggungjawab dalam pusaran arus masuk Narkoba di Indonesia. Freddy Budiman juga menuding bahwa ia setidaknya telah 'menyetorkan' uang sejumlah Rp. 450 Milyar kepada BNN untuk memperlancar bisnis barang haramnya tersebut, serta sebesar Rp. 90 Milyar ke 'orang tertentu' di Mabes Polri, bahkan ia menyatakan pernah difasilitasi oleh oknum TNI bintang dua untuk antar jemput Narkoba dari Medan ke Jakarta dengan menggunakan truk TNI yang berisi penuh narkoba seperti dikutip dalam detik.com.
Kesaksian ruwet ini konon disampaikan Freddy Budiman kepada Haris Azhar, Koordinator LSM KONTRAS sekaligus aktifis hak asasi manusia ketika ia menemui Freddy di Lapas Nusakambangan pada tahun 2014 silam.
Pertanyaannya adalah mengapa cerita ini baru dibuka oleh Haris Azhar setelah Freddy Budiman menemui ajalnya pasca eksekusi hukuman mati terhadapnya dilaksanakan? Bukankah lebih baik agar cerita ini dapat diungkap ketika Freddy masih hidup agar penyelidikan untuk menegakkan hukum dan kebenaran atas cerita ini dapat segera dibuktikan seperti pernyataan Freddy?
Yang jelas kesaksian ruwet ini harus dapat dipertanggungjawabkan di muka hukum untuk dapat dibuktikan sejauh mana kebenarannya agar tidak hanya menjadi berita miring dari 'jurus balas dendam' terakhir seorang Freddy yang dapat mencoreng nama baik penegakan hukum di Indonesia.
Jika kesaksian ruwet ini memang benar adanya dan dapat dibuktikan kebenarannya secara hukum maka tentu saja negeri ini memang benar-benar telah menjadi surga bagi para pengedar Narkoba, dengan permainan memilukan yang diatur oleh oknum penegak hukumnya sendiri yang semestinya menjunjung tinggi harkat dan martabat hukum di negeri ini dan bukan sebaliknya. Namun, kesaksian ruwet ini pun tidak bisa juga ditelan mentah-mentah begitu saja sebagai 'nyanyian kebenaran' terakhir seorang Freddy Budiman sebelum menemui ajalnya. Yang pasti publik berharap penuh agar kesaksian ruwet ini cepat menemui akhir ceritanya.
Kredibilitas Polri dengan sederet prestasi yang telah dicapainya kembali menghadapi tantangan besar. Tantangan besar yang juga ikut mempertaruhkan nama baik penegakan hukum di Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H