Lihat ke Halaman Asli

Ndhy Rezha

Penulis Pemula

Ketika Istrimu Lebih Berbahaya dari "Pelacur"

Diperbarui: 28 Oktober 2019   11:52

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Pelacur itu hanya sebuah istilah peyoratif, disematkan untuk mereka yang hidup dalam bayang-bayang perdagangan harga diri. Namun tidak bisa dipungkiri, dalam dimensi estetik, dia tetap menarik.

Tidak ada yang lebih membenci pelacur selain para istri sah yang suaminya rentan akan godaan nafsu seksual. Oleh mereka, pelacur derajatnya ditempatkan pada kasta sosial paling bawah, terinjak seakan tidak punya harga diri. 

Para istri ini senantiasa mengutuk pelacuran dengan berbagai macam dalil, menganggapnya tak tersentuh cahaya moral lalu yang hidup dalam dunia prostitusi pun rentan akan perundungan, dipandang sebelah mata, diasingkan dalam pergumulan sosial.

Seiring berjalannya waktu, dimensi pelacuran tidak hanya berkutat pada praktek yang terorganisir. Pelacur kini dengan mudah disematkan kepada perempuan mana saja; kepada teman kerja, kepada pekerja kantoran yang pulang larut malam, kepada tetangga, sahabat bahkan keluarga yang dianggap punya potensi bermain hati dengan suami. 

Beberapa istri sah kemudian leluasa menjadikan siapapun sebagai sasaran fitnah PELACURAN, bahkan seluruh instrumen sosial yang dianggap berpotensi menggiring suami mereka ke arah sana pun dianggap berbahaya. Mereka kemudian menciptakan proxy yang kata kuncinya MORALITAS. 

Proxy ini menjadi begitu sensitif dan tidak sekedar berkutat pada objek vital pelacuran saja, melainkan seluruh fragmen dan instrumen yang dianggap terikat dengannya, semuanya demi mempertahankan kedudukan mereka yang agung dan para istri dengan berani membentengi suami mereka dengan berbagai macam dalil dan ancaman yang lambat laun menjadi penjara tak kasat mata bagi kehidupan sosial mereka.

Sebaliknya, para lelaki menjadi lebih nyaman bersama pelacur mereka, sebab hubungan itu berjalan tanpa LEGALITAS yang mengikat, tanpa HUKUM yang mengatur alam pikiran mereka dalam mencari kepuasan. Datang dan pergi tanpa birokrasi yang berbelit-belit, pelacur menjadi magnet tersendiri bagi kehidupan lelaki. 

Tetapi ini bukan dalil untuk para lelaki membenarkan pelacuran, melainkan hanya sebuah perbandingan untuk menilik bagaimana bisa kepuasan itu di dapat. Istri tentu derajatnya lebih tinggi dari mereka yang mengkomersilkan harga dirinya; meski posisi istri dan pelacur itu sendiri pada hakekatnya hanya tentang bagaimana akad suatu hubungan itu disepakati.

Sangat sedikit dari kita yang berani mengadvokasi dugaan pelacuran dengan dalil kemanusiaan, oleh suami yang secara diam-diam menaruh hati pada praktek pelacuran; mereka bungkam bahkan suatu waktu bermain peran; mencaci perempuan-perempuan jalang yang mereka lihat di sudut jalan. 

Sedangkan bagi para istri, pelacur itu adalah siapa saja yang dianggap menganggu atau mengancam kedudukan mereka sebagai pasangan yang sah. Padahal dalam kenyataannya, pelacuran kini bukan lagi sebuah definisi baku untuk mengidentifikasi praktek penyediaan jasa esek-esek semata. Dia telah bermetamorfosis menjadi persepsi umum atas tindakan yang 'sekedar' dianggap berpotensi mengorek isi dompet lelaki hidung belang.

Hari ini pelacuran tidak lagi memerlukan dalil sebab dia telah menjadi dalil untuk menegaskan harkat dan martabat serta kedudukan seorang istri. Atas dasar tuduhan pelacuran, istri boleh-boleh saja mendesain atmosfer rumah tangga sekehendak yang mereka mau; tidak jarang dengan menumpahkan seluruh emosi secara membabi buta. Atas dasar ini pula mereka kemudian mengabaikan seluruh aspek moral lalu melupakan peran mereka sebagai seorang istri.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline