Beberapa waktu lalu ramai di sosial media membahas persoalan kekerasan guru terhadap anak didiknya. Sambudi, guru asal kota Sidoarjo yang akhirnya dimejahijaukan oleh anak didiknya sendiri (SS) karena tindak kekerasan yang dilakukan oknum guru tersebut. Reaksi publik pun banyak yang memberi kecaman terhadap ss karena dianggap berlebihan dalam menanggapi ‘CUBITAN’ Sambudi, apalagi ada foto SS yang beredar luas di sosmed menunjukan bocah SS sedang merokok yang notabene merupakan stigma negatif. Kecaman terhadap SS dan dukungan kepada Sambudi pun terus mengalir di sosial media. Bahkan beberapa orang guru berkumpul layangkan aksi protes atas apa yang ditimpakan kepada rekan sejawat mereka.
Pada dasarnya kekerasan adalah hal yang tidak dapat dibenarkan, apalagi di dalam institusi pendidikan seperti sekolah di mana guru yang dalam hal ini sebagai pendidik dituntut untuk menanamkan pemikiran positif terhadap anak didiknya. Namun dalam kasus Sambudi, publik menilai bahwa ‘Cubitan’ Sambudi masih dalam koridor mendidik dan tidak seharusnya mendapat reaksi keras dari orangtua SS.
Publik seharusnya melihat jeli persoalan Sambudi ini dengan tidak mengenyampingkan sisi moral yang seharusnya menjadi acuan dalam dunia pendidikan. Bukan karena SS adalah murid ‘bebal’ sehingga apa yang dilakukan Sambudi terhadap anak didiknya itu lantas dibenarkan. Di sisi lain banyak kejadian serupa (kekerasan guru terhadap murid) yang terjadi di negara ini yang menunjukan betapa bobroknya dunia pendidikan kita tetapi anehnya hanya dalam kasus Sambudi lah orang-orang mendukung kekerasan semacam ini.
Guru tentu boleh-boleh saja melakukan tekanan terhadap murid agar si murid didorong ke arah postif, tetapi dalam batas tertentu guru tidak semestinya mengambil tindakan fisik terlebih dalam kasus Sambudi, Sambudi melakukan hal serupa terhadap 30 murid lainnya. Masyarakat yang mendukung tindakan Sambudi sepertinya lupa bila kekerasan dalam dunia pendidikan bukan hanya terjadi kali itu saja. Banyak oknum guru yang melakukan tindak kekerasan terhadap anak didiknya, ada yang sampai di meja hijaukan seperti yang terjadi dalam kasus Sambudi, dan ada pula yang dilupakan begitu saja sehingga dukungan terhadap Sambudi sama saja bentuk dukungan pada kekerasan yang blak-blakkan dan bak pukulan telak bagi murid-murid yang mengalami kekerasan di luar sana. Adapun alasan Sambudi dalam hal ini adalah ‘mendidik’ maka tentu banyak cara lain untuk hal tersebut, misalnya dengan memberi sanksi nilai terhadap SS ini atau melapor kepada orangtua yang bersangkutan.
Banyak anak seusia SS di luar sana yang mengalami tindak kekerasan oleh oknum guru tetapi bungkam oleh berbagai alasan hingga tidak jarang menimbulkan dampak psikologi yang tidak baik dalam diri si murid. Untuk itu kita seharusnya tidak menjadikan ‘anak yang buruk’ sebagai kambinghitam dan mengelukan ‘guru kejam’ sebab tak dapat dipungkiri bahwa murid sebagai anak didiklah yang menjadi yang utama, merekalah yang perlu dibina dengan cara-cara yang benar agar menjadi murid teladan sehingga nantinya berguna bagi orangtua mereka, keluarga maupun masyarakat.
Sangat lucu ketika masyarakat ini yang katanya menolak kekerasan justru beri dukungan pada apa yang dilakukan Sambudi. Sementara itu, Sambudi mungkin akan berlaku benar dan dukungan terhadapnya yang berlandaskan ‘koridor mendidik’ itu dapat dibenarkan, tetapi dengan catatan: jika bekas cubitan itu tidak terlihat ketika SS melepas seragam sekolahnya sebab bila tak berseragam sekolah maka SS sudah bukan lagi tanggung jawab Sambudi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H