Lihat ke Halaman Asli

Toko Buku Tutup

Diperbarui: 17 Januari 2024   16:47

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Lyfe. Sumber ilustrasi: FREEPIK/8photo

1.
Kau tidak akan pernah menyangka bahwa kebiasaanmu dari kecil. Malapetaka bagimu. Di sisi lain, kebiasaan itu pula adalah berkat bagi orang lain. Kebiasaan itu akan saya ceritakan sekarang.


Umurku kira-kira 8 tahun. Tinggi badanku tidak setinggi etalase kaca di toko buku. Seingatku, siang itu sehabis pulang sekolah. Antusias kuceritakan kepada papa bagaimana asiknya menggambar. Pensil krayon berwarna itu menggores-gores kerta putih. Warna-warna itu membentuk pemandangan indah pedesaan.


Tentu, saya tidak pernah ke pedesaan. Lamunan imajinasi pedesaan kulihat di televisi. Hamparan sawah, gunung, dan matahari terbit. Tidak ketinggalan jalanan aspal hitam dengan garis putih membelah jalan. Komposisi itu lukisan klise anak kecil.


Bau keringat papa masih tercium. Tambah seru dengan anyir kering matahari. Beliau sepertinya habis menyelesaikan pekerjaan di bengkel. Jelaga besi dan hitam oli menempel di baju kaos berkerah. Dia datang menjemput anak laki-laki kecilnya.


Mendengar antusias ceritaku, stir motornya diarahkan ke toko buku dan alat tulis. Tepat perempatan batu putih dan bulukunyi. 

Seingatku, Gramedia satu-satunya toko buku dan alat tulis besar di kota Makassar pada waktu itu. Sisanya, mereka masih seukuran ruko. Tersebar di berbagai sudut kota. Dikelola mandiri.


Saya dipersilahkan papa menengok etalase. Kedua tangan kecil meraba kaca sambil menempelkan mata. Kulirik-lirik pensil krayon. Kutarik baju papa. Telunjuk mengarah ke salah satu kotak pensil warna.


Betapa girang mendapatkan pensil krayon. Otak ini membayangkan di rumah nanti akan kulanjutkan kegirangan menggambar. Selain itu, papa juga membelikan lanjutan buku AKU INGIN TAHU. Kegiranganku meluap-luap.


2.
Kebiasaan beli buku tidak berlanjut. Pergaulan sekolah tidak mengizinkan itu untuk tumbuh subur. Kami anak remaja lebih menyukai membeli mainan. Bahkan, rela juga menyisipkan uang jajan untuk dihabiskan pada akhir pekan.


Papa juga sudah tidak lagi secara rutin membelikan buku. Biaya tersebut dialihkan ke tabungan. Impian untuk memiliki rumah. Tabungan lain juga untuk anak-anaknya bersekolah. Otomatis, biaya membeli buku sama mewahnya dengan berliburan.


Sampai kira-kira tercetus kembali saat mengenyam pendidikan di sekolah tinggi. Saya berinteraksi dengan banyak teman. Mereka fasih mempertanyakan hal-hal di luar percakapan yang tak pernah kutemui. Fasih mengucapkan berbagai persoalan juga lengkap dengan nama-nama orang tidak familiar di telingaku.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline