Lihat ke Halaman Asli

Willem Wandik. S.Sos

ANGGOTA PARLEMEN RI SEJAK 2014, DAN TERPILIH KEMBALI UNTUK PERIODE 2019-2024, MEWAKILI DAPIL PAPUA.

Politisasi Gizi Buruk Asmat: Kepanikan Pusat dan Tudingan ke Tanah Papua

Diperbarui: 13 Februari 2018   17:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber Gambar: Dimodifikasi Dari Antara

Wakil Bangsa Papua - Kasus gizi buruk yang menyerang balita di wilayah Asmat menimbulkan reaksi yang beragam di publik nasional, salah satu yang cukup menyita perhatian adalah ikut sertanya Pemerintah Pusat dalam penanggulangan gizi buruk di Asmat. Reaksi yang begitu cepat ditunjukkan dalam penanggulangan Gizi Buruk di Asmat, dengan mengirim personil TNI dan Polri beserta tim paramedis disertai penyediaan bantuan pangan ke sejumlah Distrik yang teridentifikasi sebagai wilayah KLB Gizi Buruk. Namun tidak sedikit juga "ujaran" bernada miring yang justru dialamatkan ke penyelenggara daerah di Tanah Papua, oleh sejumlah Pejabat Menteri di Pemerintah Pusat. 

Pemerintah Pusat seperti ingin menyelamatkan muka sendiri, dan menyerahkan kesalahan kepada Pemerintah Daerah. Bahkan Menteri PPN Bambang Brojonegoro, menyindir alokasi anggaran yang ditransfer ke Tanah Papua mencapai 80 Triliun disetiap tahunnya, sebagai anggaran yang dapat memicu kecemburuan antara daerah, namun Tanah Papua tidak mampu menanggulangi persoalan gizi buruk di daerah Asmat. Apakah benar tudingan Menteri PPN tersebut, berdasarkan "evidence base" penatalaksanaan anggaran di Tanah Papua? 

Pernyataan sejumlah Menteri, pada gilirannya menggiring opini publik nasional "framing Pusat", yang benar-benar mulai menyalahkan Pemerintah Daerah di Tanah Papua sebagai penyebab terjadinya KLB Gizi Buruk di Asmat. Yang lebih parahnya lagi, sejumlah politisi nasional dan juga jajaran Pemerintah Pusat secara spesifik menyalahkan penggunaan dana otsus sebagai penyebab terjadinya Gizi Buruk di Asmat. 

"Prejudice" sejumlah politisi nasional dan juga pejabat di sejumlah Kementerian, yang tampak tendensius tersebut, perlu diluruskan, terutama menyoal anggaran 80 Triliun yang dikirim ke Tanah Papua, sebagai angka yang benar-benar dilebihkan "hiperbola politis". Sebagai contoh, data Dana Alokasi Umum yang merupakan proporsi dana terbesar dalam pagu belanja di seluruh Kabupaten/Kota/ termasuk belanja Provinsi di Provinsi Papua di Tahun Anggaran 2016 hanya mencapai 22,5 Triliun. Total anggaran tersebut diperuntukan untuk 30 penyelenggaraan Daerah Otonom di Provinsi Papua, termasuk 28 Kabupaten, 1 Kota, 1 Provinsi (belum menghitung alokasi anggaran untuk provinsi Papua Barat). 

Sedangkan perbandingan penerimaan daerah yang berasal dari alokasi dana DAU dengan sumber penerimaan daerah lainnya, seperti Tax Sharing, Non Tax, DAK, dan PAD antaralain berbanding 72,1% untuk proporsi DAU dan 27,9% proporsi pendapatan lainnya (diolah dari Penerimaan Provinsi Papua). Dengan asumsi penerimaan daerah lainnya yang dapat dimasukkan kedalam variabel anggaran, maka ditemukan potensi penerimaan anggaran diluar DAK untuk 30 daerah otonom di Provinsi Papua sebesar 6,3 Triliun. Kemudian ditambah dengan penerimaan dari alokasi dana otsus yang mencapai  5.4 Triliun untuk Provinsi Papua. Sehingga total keseluruhan belanja penyelenggaraan pemerintahan di 30 daerah otonom di Provinsi Papua mencapai 34.1 Triliun.

Dengan demikian dari mana data 80 Triliun alokasi anggaran yang dikirim ke Provinsi Papua yang disebutkan oleh Menteri PPN? dan perlu untuk dicatat, bahwa nilai pagu anggaran yang mencapai 34,1 Triliun tersebut, adalah nilai keseluruhan anggaran, yang mayoritas digunakan untuk belanja "mandatory spending" seperti membayar gaji pegawai, tunjangan jabatan, belanja lauk pauk pegawai, kebutuhan dasar pelayanan pemerintahan, dan lain lain. Sehingga pernyataan Menteri PPN yang menuding Tanah Papua menghabiskan anggaran 80 Triliun, seolah olah menjustifikasi bahwa Tanah Papua hanya menghambur-hamburkan dana negara. Namun secara data, pernyataan Menteri PPN merupakan kebohongan yang dilebih-lebihkan, untuk menutupi kegagalan Pemerintah Pusat memenuhi kebutuhan dasar Gizi bagi balita di daerah Asmat.

Agar argumentasi Pemerintah Pusat dapat diterima oleh nalar bagi orang-orang yang berakal sehat, sehingga tidak terjebak pada narasi hiperbola yang bersifat politis pragmatis, mari kita membuka data-data alokasi belanja di sektor kesehatan yang dikirim oleh Pemerintah Pusat secara spesifik di Kabupaten Asmat. Pada tahun anggaran 2017, Pemerintah Pusat mengirimkan alokasi dana untuk kegiatan fisik di Kabupaten Asmat mencapai 119,2 Miliar, namun dari total kegiatan fisik yang dianggarkan oleh Pemerintah Pusat ke Kabupaten Asmat, jumlah alokasi anggaran untuk pelayanan kesehatan hanya mencapai 10,8 Miliar. 

Rincian alokasi anggaran kesehatan untuk Kabupaten Asmat tersebut terdiri dari, belanja kegiatan pelayanan kesehatan dasar sebesar 2,1 Miliar, sarana pelayanan rujukan sebesar 3,1 Miliar, pelayanan kefarmasian/obat-obatan sebesar 4,2 Miliar, dan keluarga berencana sebesar 1,3 Miliar. Sehingga secara anggaran, alokasi dana yang katanya 80 Triliun oleh Menteri PPN, merupakan generalisasi belanja transfer ke Tanah Papua, yang justru merupakan pernyataan hiperbola politis, untuk sekedar mem-blinding publik nasional, agar seluruh peristiwa gizi buruk yang terjadi di Asmat, bukanlah tanggung-jawab Pemerintah Pusat. 

Kemudian, untuk memahami secara benar, mengapa gizi buruk bisa menyerang anak balita? etiologi paling lazim terjadinya gizi buruk pada balita, antara lain disebabkan karena kurangnya asupan gizi dan serangan penyakit infeksi (suspek terbesar dalam kasus KLB gizi buruk di asmat adalah sebagian besar anak balita terserang penyakit campak). Faktor etiologi tidak langsung lainnya yang dapat memperberat kondisi gizi buruk yaitu rendahnya daya beli keluarga/masyarakat dan ketidaktersediaan pangan yang bergizi, serta keterbatasan pengetahuan tentang pangan yang bergizi terutama untuk ibu dan anak balita. 

Dalam perspektif program kerja di unit pelayanan kesehatan (UPK) baik di komunitas maupun sentinel, penatalaksanaan upaya preventif dan kuratif kasus gizi buruk biasanya dilakukan dengan melakukan kegiatan penjaringan balita KEP, kegiatan penyuluhan kelompok pada ibu sasaran, pelacakan kasus, pemeriksaan kesehatan oleh dokter di UPK, rujukan balita gizi buruk ke rumah sakit, pengobatan penyakit infeksi, pemberian obat cacing, pemberian suplemen gizi serta pemberian PMT pemulihan.

Sekarang yang menjadi pertanyaan penting, bagi publik nasional, terutama bagi para Menteri yang banyak berbicara di Pusat, bagaimana cara Pemerintah Daerah di Kabupaten Asmat dapat memenuhi kebutuhan pelayanan kesehatan dasar, dengan anggaran sebesar 2,1 Miliar (alokasi pelayanan kesehatan dasar) , bukan seperti yang diberitakan 80 Triliun, terutama jika mengacu pada program dasar pencegahan dan upaya kuratif, suspect/penderita gizi buruk di wilayah Kabupaten Asmat, jika parasarana penunjang yang mengkoneksikan pusat-pusat pelayanan kegiatan pemerintahan (termasuk pelayanan kesehatan) kepada masyarakat Asmat, yang harus menghadapi bentangan wilayah yang mencapai 31.983,69 kilometer persegi. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline