Lihat ke Halaman Asli

Amnesty Aset Koruptor, Berkedok Tax Amnesty?

Diperbarui: 20 Juli 2016   09:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Menteri Keuangan dan Pemerintah telah berhasil membujuk parlemen dengan pendekatan teror defisit APBN dan menghilangkan rasionalitas hukum serta semangat anti KKN, dalam mengejar target repatriasi aset yang telah di sanjung-sanjung sedemikian rupa oleh para pembantu Presiden melalui Kementerian Keuangan, sebagai solusi perbaikan penerimaan negara dan pertumbuhan ekonomi di Tahun 2017 (sumber tulisan: willemwandik.com, sumber gambar: edit dari okezone.com)

Wakil Bangsa Papua– Melalui Menteri Keuangan dalam berbagai pertemuan dengan berbagai alat kelengkapan DPR menyampaikan kesulitan penerimaan negara dari sektor perpajakan yang berimbas pada pembatalan berbagai proyek APBN 2016. Dalam kesempatan terakhir di awal bulan Juli 2016, dalam momentum rapat kerja bersama Badan Anggaran DPR, delegasi Kementerian Keuangan juga menyampaikan sikap optimismenya dengan prospek repatriasi aset (pengembalian aset) melalui program Tax Amnesty yang menurutnya menjadi momentum kebangkitan perekonomian Indonesia di APBN 2017.

Dalam draft rancangan undang-undang Tax Amnesty, diterangkan alasan utama opsi pengampunan pajak yang diberikan oleh Pemerintah yang didasarkan pada kondisi ketidakmampuan negara untuk memenuhi target penerimaan perpajakan melalui peserta wajib pajak yang terdaftar di dalam negeri. Sehingga diperlukan skema penerimaan perpajakan yang terbilang ekspansif yang menyasar pemulangan aset WNI yang terparkir diluar negeri. Secara mendasar, rasionalisasi pemulangan aset wajib pajak WNI di luar negeri merupakan pilihan yang normatif yang didasarkan pada realitas kesadaran dan kepatuhan warga negara dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya yang dinilai masih perlu untuk ditingkatkan karena terdapat banyak harta kekayaan yang tersimpan di luar negeri yang belum dilaporkan dalam Surat Pemberitahunan Tahunan Pajak Penghasilan, yang seharusnya dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan penerimaan negara dan pertumbuhan perekonomian nasional.

Pada poin repatriasi aset yang menargetkan pelaporan harta kekayaan di luar negeri dipandang sejalan dengan harapan Pemerintah untuk memperluas jangkauan penerimaan perpajakan nasional dan tidak bertentangan dengan semangat penegakan hukum dan upaya memerangi korupsi. Namun, draft Tax Amnesty yang menggunakan terminologi pengampunan perpajakan yang diusulkan oleh Pemerintah, secara historis mengalami setidak-tidaknya 2 kali perubahan konten terkait subyek harta kekayaan yang dibolehkan untuk diberikan Tax Amnesty. Pertama dalam draft pengampunan perpajakan yang diajukan di Tahun 2015, terdapat konten yang menggarisbawahi pemberian fasilitas Tax Amnesty yang meliputi:

  • Penghapusan pajak terutang, sanksi administrasi perpajakan, dan sanksi pidana di bidang perpajakan;
  • Tidak dilakukan penagihan pajak dengan surat paksa, pemeriksaan pajak, pemeriksaan bukti permulaan, penyidikan dan penuntutan tindak pidana di bidang perpajakan;
  • Memperoleh pengampunan tindak pidana terkait perolehan kekayaan, kecuali tindak pidana terorisme, narkotika dan pencucian uang;

Sejalan dengan bergulirnya upaya pengajuan Tax Amnesty oleh Pemerintah kepada DPR, polemik pun tidak dapat dihindari dengan hadirnya pro kontra dari kalangan masyarakat maupun oleh sejumlah Partai Politik yang mempersoalkan peruntukan Tax Amnesty yang mengarah pada pengampunan perpajakan dari harta kekayaan yang bersumber dari hasil kejahatan, terutama hasil kejahatan korupsi.

Upaya persisten Pemerintah untuk meloloskan agenda Tax Amnesty ditengah-tengah pro kontra yang terjadi di publik nasional, menghantarkan revisi draft RUU Tax Amnesty di Tahun 2016 menjadi lebih menyederhanakan pokok-pokok persoalan yang dipertentangkan oleh berbagai kalangan, dengan merumuskan gari-garis besar penerapan Tax Amnesty sebagai berikut:

  • Setiap wajib pajak berhak mendapatkan pengampunan pajak dengan surat pernyataan pengungkapan harta kekayaan yang dimilikinya;
  • Pengampunan perpajakan diberikan atas kewajiban PPh, PPn, dan PPnBM;
  • Pengampunan pajak tidak diberikan kepada: a). Wajib Pajak sedang menjalani penyidikan dan berkasnya dinyatakan lengkap oleh penyidik, b). Sedang dalam proses peradilan, c). menjalani pidana di bidang perpajakan;

Dari deskripsi skema pemberian Tax Amnesty dari dua draft pengampunan perpajakan yang dipresentasikan di Tahun 2015 dan perubahan di Tahun 2016, dapat ditarik beberapa kesimpulan diantaranya, terdapat upaya untuk menyelundupkan ketentuan penghapusan pidana yang dipertentangkan oleh masyarakat terhadap peserta penerima fasilitas Tax Amnesty. Dalam draft yang diajukan di Tahun 2015 menyebutkan secara tegas penghapusan perbuatan pidana terkait perolehan harta kekayaan yang dikecualikan hanya kedalam tiga golongan yaitu terorisme, narkotika, dan money laundry (tidak termasuk tipikor). Berbeda dengan 2015, penyederhanaan draft Tax Amnesty 2016 menghilangkan pengecualian pidana terorisme, narkotika, dan money laundry dengan mempersempit dasar pengecualian pidananya terhadap kejahatan perpajakan semata.

Dengan demikian penyederhanaan redaksi skema pengampunan perpajakan yang diajukan oleh Pemerintah di Tahun 2016 tidak lagi membatasi pengecualian pengampunan perpajakan terhadap kejahatan selain di bidang perpajakan semata (repatriasi aset yang berasal dari pidana terorisme, narkotika, money laundry, tipikor, dan lain-lain diperbolehkan, serta dihitung sebagai kewajiban perpajakan semata-semata dengan ketentuan pemberian tebusan dalam prosentase tertentu). Kondisi ini sedikit dapat dipahami, ketika dalam pembahasan maraton APBN-Perubahan 2016 di pertengahan bulan Juni 2016 lalu, Pemerintah melakukan pemangkasan belanja APBNP 2016 sebesar Rp 50,02 Triliun, yang berimbas pada gerakan penghematan belanja Kementerian/Lembaga, dan pembatalan proyek-proyek infrastruktur yang gagal lelang di APBN 2016.

Pengumuman pemangkasan APBNP 2016 juga menyebarkan teror defisit penerimaan negara yang mencapai Rp 189,1 Triliun menjelang bulan Mei 2016 atau mencapai 1,49% dari PDB nasional, dengan realisasi penerimaan pajak diluar bea dan cukai hanya sebesar Rp 272,04 Triliun (Menkeu, Mei 2016), padahal target penerimaan dari sektor perpajakan yang ditetapkan dalam APBN mencapai Rp 1355,2 Triliun.

Memasuki bulan Juni 2016, efek defisit penerimaan APBN tidak kunjung membaik, justru semakin diperlemah dengan angka defisit mencapai Rp 231,8 Triliun atau meningkat menjadi 1,9% dari PDB nasional (Menkeu, Juni 2016). Pergerakan defisit APBN telah mencapai 80,85% disepanjang bulan Januari – Juni di Tahun 2016 dari target defisit yang direncanakan mencapai 2,35% dari PDB nasional. Kondisi ini tentunya merupakan ancaman yang serius bagi masa depan keuangan APBN, khususnya bagi ambisi Presiden terpilih untuk mewujudkan agenda nawacita yang fokus pada pembangunan infrastruktur.

Terkait teror psikologis keuangan APBN yang mengalami defisit yang cukup signifikan memasuki paruh pertama Tahun 2016, kemudian mendorong DPR untuk tidak berlama-lama lagi menahan proposal pengesahan draft RUU Tax Amnesty, dengan jaminan dukungan Pemerintah yang disampaikan melalui rapat kerja bersama Badan Anggaran DPR, yang menyampaikan resolusi Tax Amnesty dipercaya akan mampu menggerakkan pertumbuhan ekonomi Indonesia di Tahun 2017 dalam rentang 5,3% - 5,9%. 

Rasanya Menteri Keuangan dan Pemerintah telah berhasil membujuk parlemen dengan pendekatan teror defisit APBN dan menghilangkan rasionalitas hukum serta semangat anti KKN, dalam mengejar target repatriasi aset yang telah di sanjung-sanjung sedemikian rupa oleh para pembantu Presiden melalui Kementerian Keuangan, sebagai solusi perbaikan penerimaan negara dan pertumbuhan ekonomi di Tahun 2017.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline