Wakil Bangsa Papua - Pemerintah Indonesia dalam 2 tahun terakhir (Tahun Anggaran 2015 - 2016) secara agresif memperluas pembiayaan proyek-proyek strategis nasional, termasuk percepatan proyek infrastruktur yang berasal dari skema pinjaman luar negeri “loans” dengan alasan realisasi penerimaan negara yang mengalami penurunan (di Tahun 2015 defisit penerimaan perpajakan mencapai Rp 300 Triliun), sehingga beban belanja Pemerintah untuk mewujudkan proyek-proyek strategis nasional melampaui kemampuan keuangan negara pada hari ini.
Sepintas tidak ada yang aneh, dengan perluasan agenda utang Pemerintah Pusat yang memang bertujuan untuk mendanai proyek-proyek strategis Pemerintah. Skema ini juga banyak didukung oleh kalangan pengusaha karena skema utang tersebut dipandang dapat membantu menciptakan lapangan kerja bagi masyarakat Indonesia, dan dapat mendorong pertumbuhan ekonomi di dalam negeri dari sektor infrastruktur yang terbangun. Namun yang menjadi catatan penting disepanjang realisasi bantuan pembiayaan melalui pinjaman utang yang diberikan oleh lembaga kreditur internasional, mensyaratkan adanya jaminan pemerintah dan proyek-proyek yang bernilai komersial di Indonesia.
Dalam Perpres yang diterbitkan oleh Pemerintahan Jokowi di Tahun 2015 (Perpres No. 82 Tahun 2015) yang mengatur pemberian jaminan Pemerintah atas pembiayaan infrastruktur melalui pinjaman langsung dari lembaga keuangan internasional yang diberikan kepada Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Perpres tentang penjaminan atas pembiayaan/utang terhadap proyek infrastruktur di Indonesia harus memenuhi dua syarat penting agar mendapatkan penjaminan Pemerintah, yaitu layak secara ekonomi dan layak secara finansial.
Dalam Perpres penjaminan tersebut, dijelaskan lebih lanjut definisi layak secara ekonomi apabila proyek infrastruktur dinilai dapat memberikan manfaat yang besar bagi sirkulasi ekonomi di suatu kawasan, sedangkan kriteria layak secara finansial apabila proyek infrastruktur tersebut dapat menghasilkan pemasukan (income dan profit) yang dapat mengembalikan secara penuh biaya yang telah dikeluarkan (full cost recovery). Dalam best practice pembiayaan yang banyak direalisasikan oleh Asian Development Bank (ADB) kesejumlah negara-negara debitur, setiap pinjaman ADB selalu disertai panduan bagi otoritas negara debitur agar mentaati prinsip full cost recovery (pengembalian biaya secara penuh) yang seringkali dijalankan melalui reformasi penyesuaian tarif (harga yang harus dibayar oleh masyarakat menurut harga pasar sebagai bentuk kompensasi atas tersedianya infrastruktur yang di danai melalui mekanisme utang untuk mendukung pemulihan pembiayaan utang kepada negara kreditur).
Sejalan dengan skema penjaminan yang diterbitkan oleh Pemerintah, ketentuan persetujuan pinjaman utang yang diatur oleh lembaga kreditur seperti Asian Development Bank (ADB) setidak-tidaknya menyetujui 2 skema pembiayaan, pertama melalui pinjaman berbasis kebijakan Pemerintah yang tertuang dalam Rencana Kerja Pemerintah (Policy Based-Loan) dan kedua berbentuk pinjaman berbasis hasil (Result Based-Lending), dimana kedua jenis bantuan pembiayaan tersebut mensyaratkan adanya jaminan Pemerintah oleh otoritas ADB. Hal ini sejalan dengan prinsip pinjaman langsung yang disyaratkan oleh Pemerintah dalam Perpres No. 82 Tahun 2015, yang digambarkan sebagai bentuk fasilitas pembiayaan infrastruktur dengan skema pinjaman yang disediakan oleh Lembaga Keuangan Internasional yang bersifat langsung kepada Badan Usaha Milik Negara (BUMN) berdasarkan perjanjian pinjaman, dengan syarat dan ketentuan yang setara dengan pinjaman Pemerintah Pusat.
Melihat syarat dan ketentuan utang Pemerintah agar dapat membiayai proyek-proyek infrastruktur di Indonesia, yang mensyaratkan adanya kepentingan bisnis yang besar sebagai dasar persetujuan penjaminan utang Pemerintah dan prasyarat persetujuan pembiayaan oleh lembaga kreditur Internasional, sedikit menjawab tanda tanya publik mengapa dalam waktu yang relatif singkat, Pemerintah Indonesia mendapatkan bantuan pendanaan dari perbankan China (China Development Bank/CDB) yang juga mendapatkan dukungan dari Perusahaan Konsorsium asal China untuk mendanai proyek Kereta Cepat Jakarta - Bandung.
Meskipun dalam penjelasan resmi Pemerintah terkait skema pembiayaan proyek Kereta Cepat Jakarta – Bandung tidak mendapatkan jaminan Pemerintah, justru komponen pinjaman pembiayaan dari perbankan China menerapkan prinsip full cost recovery (pengembalian biaya secara penuh) ditambah dengan prosentase pembayaran bunga pinjaman sebesar 2% pertahun untuk pinjaman berbentuk mata uang USD, dan 3,46% pertahun untuk pinjaman berbentuk mata uang Yuan, dengan tenor utang selama 40 Tahun, dimana komponen pembiayaan utang tersebut dibagi dalam proporsi mata uang USD sebesar 60%, dan mata uang Yuan sebesar 40%. Adapun nominal pinjaman utang yang diberikan oleh perbankan China (China Development Bank/CDB) untuk mendanai mega proyek tersebut mencapai Rp 58 Triliun.
Sejalan dengan kepentingan bisnis Pemerintah China yang memberikan bantuan pendanaan untuk kepentingan mega proyek Kereta Cepat Jakarta – Bandung, Presiden Jokowi dalam beberapa kesempatan menyampaikan perhitungan kerugian ekonomi akibat kemacetan yang ditimbulkan di kawasan Jakarta yang mencapai 28-30 Triliun pertahun dan kerugian ekonomi di kawasan Bandung raya yang mencapai 7 Triliun pertahun, sehingga menurutnya pembangunan mega proyek tersebut merupakan kebutuhan yang mendesak dan harus segera diputuskan oleh Pemerintah untuk mencegah kerugian ekonomi yang terus menerus terjadi dikedua kawasan bisnis tersebut.
Sehingga bantuan pembiayaan dari perbankan China di mega proyek Kereta Cepat Jakarta - Bandung bukanlah proyek gratis - tanpa syarat, justru sebaliknya memiliki nilai investasi yang penting bagi Pemerintah China sendiri, dengan hadirnya jaminan prospek ekonomi yang cukup besar di dua kawasan ini, sehingga sasaran full cost recovery (pengembalian biaya secara penuh) atas bantuan pembiayaan yang diberikan tersebut (dengan mempertimbangkan kelayakan ekonomi dan finansial proyek Kereta Cepat Jakarta – Bandung) dapat memberikan profit bisnis bagi negara kreditur. Dengan kata lain, dasar persetujuan pinjaman perbankan China dan terlibatnya konsorsium Perusahaan China dalam mega proyek Kereta Cepat Jakarta – Bandung sejatinya bertujuan komersial (business oriented).
Seperti yang banyak diketahui oleh negara-negara di dunia pada hari ini, bahwa pertumbuhan ekonomi China ternyata tidak immune terhadap perlambatan ekonomi global. Keajaiban pertumbuhan ekonomi China yang menembus angka diatas 10% terasa sulit untuk diulang kembali, setidak-tidaknya dalam periode 9 tahun terakhir (2008 – 2016, pengecualian di Tahun 2010), karena kunci kekuatan ekonomi China yang mengandalkan basis ekspor ke negara-negara Uni Eropa dan Amerika Serikat justru mengalami tekanan akibat menurunnya permintaan komoditas ekspor dari China, yang tidak terlepas dari perlambatan ekonomi yang dialami oleh kedua raksasa ekonomi dunia tersebut.
Berdasarkan data pertumbuhan ekonomi China, gejala perlambatan ekonomi China “slowdown” mulai terjadi di Tahun 2008 yang ditandai dengan penurunan pertumbuhan yang tidak lagi mencapai diatas 10%. Pada Tahun 2008 tersebut, secara bersamaan terjadi krisis “subprime mortgage” di Amerika Serikat yang mengakibatkan ketidakmampuan pembayaran kredit perumahan yang menjadi salah satu pilar perekonomian Amerika Serikat, yang turut mempengaruhi pasar keuangan di Amerika dan berimbas kesejumlah negara di dunia (jatuhnya harga saham di Wall Street dan kegagalan Jerman menyelamatkan bank pengkreditan rumah di Amerika Serikat).