Lihat ke Halaman Asli

Willem Nugroho

Seseorang yang belajar menulis.

Kacamata

Diperbarui: 18 Agustus 2022   00:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber : kacamata klasik photo - Search (bing.com) 

Sayup desir angin menggliat menemani sepinya jalan setapak yang terletak persis ditepian sawah yang membentang luas. Jalanan itu dampak kacau dengan lubang dan permukaan yang jauh dari rata yaitu licin, dan tergenang air. Jalanan dusun kami memang jauh dari layak, dan bahkan tidak sekalipun tersentuh proyek pemerintah Orde Baru. Alih-alih  untuk memajukan fasilitas umum, desa kami hanya menjadi ladang dalam mencapai tujaun pemerintaha yaitu " Swasembada Pangan"

Dusun kami bernama Manunggaling Tirta. Dusun yang diapit berbagai anak sugai yang berhilir ke sungai besar yang memebelah dusun menjadi dua. Sungai ini menjadi alasan tanah menjadi subur dan mengidupi hampir 3/4 penduduk dusun yang menjadi petani. Setengah lainnya menjajan harapan dengan membauaka toko Klontong kecil di rumah masing-masing. Itulah dusunku.

Jika kalian bertanya termasuk penduduk apa aku ini? Aku termasuk dalam bagain 1/2 penduduk yang menjajakan harapan melalui toko klontong ditepian sawah itu. Bisa dibilang membuka toko klontong adalah pilihan yang cukup elit, ketimbang harus menggarap sawah yang bukan milih sendiri, dan memperoleh upah yang tidak seberapa. Ohh iyaa aku lupa memberitahu kalian, sawah di dusun kami sebagain sudah diambil alih oleh para pengusahaan dari kota, jadi kami hanya menerima upah saja, tidak bersama dengan hasil buminya.

 ***

Sang fajar sudah mulai  beranjak menjadi terik yang memancar diataas padi yang menguning. Terik matahari mencari celah ke rumahku yang hanya terbuat dari anyaman bambu kering, hampir menyerupai gubuk. Aku mengusah kacamataku yang kusam akibat terkena keringan dan debu jalanan durn yang tidak beraspal.Ditengah lenaghnya seisi toko klontong terdengar suara tangan yang beryun berpadu dengan papan kayu yang menjadi bahan pintu rumahku. Ada seorang membeli.

" Toktok...toktok" Seorang lelaki paruh baya berdiri tegap dengan memikul cangkul dibundah kirinya dan menyandarkan sepada ontelnya di diding depan kios sejajar depan kursi rotan diposisi yang sama.

" Nggih, monggo mlebet mawon" (Ya, silakan masuk saja). Aku sudah tidak asing dengan lelaki paruh baya ini, kurang lebih dua bulan ini, dia sampir setiap hari bertamu ke tokoku.

" Apa ada yang bisa aku beli hari ini? " Tanya lelaki itu dengan senyum sesampainya di depan meja kasih yang terbuat dari kayu bekas bagunan.

" Ada sembako, dan sedikit buah" Jawabku pendek kepada lelagi itu.

Tanpa membalas jawabanku lelaki paruh baya itu langsung mengambil beberapa buah yang ada sudut ruangan, dan ditempatkan di besek.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline