Sejarah lisan dapat diartikan sebagai sumber sejarah yang berbentuk lisan, tidak tertulis atau terdokumentasi dalam bentuk lain selain ingatan pelaku atau saksi mata dari suatu peristiwa sejarah yang kemudian diwariskan kepada orang lain secara lisan. Sejarah lisan belakangan diwariskan dalam bentuk rekaman audio maupun audio visual dari proses penuturan kisah sejarah yang dapat didengarkan atau dilihat sewaktu-waktu sesuai kebutuhan.
Hingga saat ini, sejarah lisan menjadi rujukan utama sebagai sumber sejarah bagi sebagian masyarakat adat di Indonesia dengan segala dampak yang menyertainya, misalnya muncul berbagai versi sejarah yang masing-masing dianggap benar oleh penutur (orang yang mengisahkan secara lisan) sejarah tanpa adanya tanggung jawab moral maupun akademis untuk menghadirkan bukti-bukti lain. Dalam kaitannya dengan orisinalitas informasi sejarah, masyarakat cenderung merujuk pada pandangan klenik bahwa penutur sejarah yang tidak jujur dalam menuturkan sejarah akan mendapatkan musibah dari para leluhur yang merupakan pelaku sejarah.
Sejarah lisan memainkan peranan penting sebagai pelengkap keterbatasan dokumen sejarah, namun kebergantungan penuh pada sejarah lisan bisa berarti bencana bagi proses historiografi, dimana seringkali terjadi ada penutur sejarah yang secara sengaja menuturkan versi sejarah karangannya sendiri demi mendukung kepentingan kelompok maupun pribadinya.
Sejarah lisan sebagai sumber sejarah tidak lolos dari kritik ilmuan sejarah. Kritik terhadap sejarah lisan memiliki rambu-rambu yang jika secara serius dijadikan acuan dapat menghasilkan historiagrafi yang outentik dan objektif. Berkaitan dengan rambu-rambu dalam melakukan kritik terhadap sejarah lisan, Taufik Abdullah (1982) sebagaimana dikutip oleh Reiza D. Dienaputra (2013) mengatakan bahwa kritik terhadap sejarah lisan, antara lain berbentuk, pertama, kritik terhadap profil pengkisah, khususnya bila pengkisah seorang yang besar mulut, sombong, dan angkuh. Kedua, kritik berkaitan dengan ada tidaknya kepentingan pengkisah terhadap peristiwa yang dikisahkannya. Ketiga, kritik tentang kronologi peristiwa, misalnya berkaitan dengan tanggal dan urutan kejadian. Keempat, kritik terhadap timbulnya anakronisme.
Merujuk pada pandangan Taufik Abdullah, ada empat poin penting yang perlu diperhatikan ketika menggarap sumber sejarah lisan, yaitu:
- Profil pengkisah (penutur)
Kritik terhadap profil penutur sejarah berkaitan dengan kepribadian penuturnya. Penutur yang besar mulut, sombong, dan angkuh bisa melebih-lebihkan kisah tertentu dan menyepelekan kisah yang lain pada saat yang sama. Hal ini menimbulkan cacat dalam proses historiografi. Tidak jarang ditemukan antara satu penutur dengan penutur lainnya memiliki perbedaan versi kisah sejarah. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal antara lain berkaitan dengan dengan kepentingan penutur yang akan dibahas dalam poin dua. Faktor lainnya adalah penutur sejarah bukan saksi mata dari peristiwa sejarah yang dikisahkan namun mendapatkan informasi yang telah terdistorsi dari penutur sebelumnya. Fenomena seperti ini sering ditemukan di masyarakat yang mempraktekan tradisi lisan dalam proses pewarisan informasi sejarah.
- Ada atau tidaknya kepentingan penutur dengan kisah sejarah
Kepentingan penutur kisah sejarah berpengaruh signifikan terhadap akurasi dan keaslian kisah sejarah yang disampaikan. Dalam sebagian masyarakat Indonesia penentuan pemimpin kelompok mengikuti pola tradisional yaitu berdasarkan stratifikasi sosial kuno seperti yang terdapat dalam tradisi Hindu. Hal ini melibatkan penuturan sejarah sebagai alat ukur kelayakan calon pemimpin. Silsilah calon pemimpin akan dirujuk untuk memastikan bahwa calon pemimpin memang ada dalam garis keturunan yang memenuhi syarat atau leluhurnya berada pada stratifikasi tertinggi dalam masyarakat. Tepat pada persoalan stratifikasi inilah seringkali terjadi pembelokan kisah sejarah, misalnya penutur sejarah yang memiliki kepentingan dengan kekuasaan menuturkan versi sejarah alternatif yang mengkonfirmasi bahwa leluhur dari orang tertentu berada pada stratifikasi tertentu dalam kehidupan masyarakat di masa lampau dengan merekayasa kisah-kisah kepahlawanan maupun kisah lain yang menempatkan tokoh tertentu pada posisi istimewa dalam kisah sejarah hasil rekayasa.
Hal lain yang perlu diperhatikan pada bagian ini adalah kecenderungan penutur sejarah untuk melewatkan bagian tertentu dari kisah sejarah demi melindungi privasi seseorang atau skandal kelompok. Penutur sejarah yang merasa tidak berkepentingan atau terikat dengan kisah sejarah bisa saja secara asal-asalan menuturkan kisah sejarah. Sikap tidak bertanggung jawab seperti ini perlu diantisipasi dengan melakukan wawancara mendalam dari beberapa penutur sejarah serta secara serius melakukan kritik sejarah.
- Kronologi peristiwa
Kronologi peristiwa sejarah penting untuk mengidentifikasi alur waktu peristiwa sejarah serta sebagai instrumen untuk memastikan bukti-bukti sejarah lain yang mungkin terhubung dengan peristiwa sejarah seperti dokumen, artefak, dan pelaku sejarah. Dalam sejarah Indonesia ditemukan satu persoalan yang dapat dijadikan contoh kasus, yaitu tentang Surat Perintah Sebelas Maret (supersemar) yang naskah aslinya oleh lembaga Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) dinyatakan tidak ada hingga saat ini. Naskah supersemar sejauh yang tersedia di bank data ANRI terkonfirmasi tidak berasal dari tahun yang sama dengan peristiwa sejarah karena beberapa alasan seperti jenis kertas, penataan tulisan yang khas penggunaan komputer sementara pada kurun waktu terjadinya peristiwa supersemar masih menggunakan mesin ketik sebagai alat tulis naskah. Pembuktian hubungan bukti sejarah dengan mengacu pada kronologi peristiwa sejarah memungkinkan proses historiografi yang bersih dari penyalahgunaan bukti-bukti sejarah yang tidak cocok atau outentik dengan peristiwa sejarah yang berakhir pada timbulnya anakronisme.