Lihat ke Halaman Asli

Wilibaldus Sae Delu

Jurnalis dan peneliti Yayasan Dian Peradaban Negeri

Membidik Cuan dari Internet

Diperbarui: 22 Juli 2022   19:50

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

(Sumber foto: Dok. pribadi)

Tiga tahun sudah gelar sarjana ini saya sandang. Satu-satunya orang pertama dalam keluarga besar kami yang bergelar sarjana adalah saya. Terlahir dari keluarga sederhana dan berpenghasilan rendah, mengharuskan saya dan keluarga untuk berjuang lebih mendapatkan selembar ijazah kuliah.

Drama ijazah ini melewati serangkaian cerita panjang. Terkendala biaya yang terlampau mahal, mengharuskan ayah pergi merantau hingga ke Malaysia. Mengutang dengan bunga yang mencekik pun pernah kami lakukan, musabab batas regis uang kuliah yang tidak mengenal toleransi.

Benar kata mama, hidup adalah perjuangan. Walau terkadang pahit dan menyakitkan, toh tetap harus dijalani. Tekad saya bulat. Sesulit apapun tantangannya, ijazah harus saya kantongi. Bila tidak, bakal susah bagi saya kalau melamar kerja nantinya.

Selepas wisuda (2019), saya mencoba peruntungan. Melayangkan lamaran ke sana sini. Sayangnya, ibarat cinta yang bertepuk sebelah tangan, tak terbalaskan hingga sekarang. Kenyataan ini  menyadarkan saya kalau terlahir sebagai anak kampung yang minim koneksi dengan "orang dalam"  bakalan susah mendapatkan pekerjaan di negeri ini.

Hari berlalu, musim berganti. Kendati belum mendapatkan pekerjaan tetap, saya mencoba melamar menjadi jurnalis di salah satu perusahaan media. Setelah melewati sekian tahapan seleksi yang melelahkan, saya akhirnya dinyatakan diterima dengan status sebagai jurnalis magang.

Enam bulan lamanya melakoni profesi sebagai jurnalis (magang) dan diupah Rp 500.000 perbulan. Berat memang, tapi mau bagaimana lagi. Jalani saja dulu. Saya percaya, jutaan pengalaman baru, ilmu baru dan kenalan baru bakal saya dapatkan di lapangan.

Memasuki bulan kedua masa magang, saya mulai berpikir untuk mencari kerja sampingan. Tapi pertanyaannya, mau kerja apa? Di mana? Bagaimana? Sederet pertanyaan ini mengantar saya pada satu kesadaran bahwa di era digital sekarang, ada banyak peluang mendapatkan uang dari internet.

Secara kebetulan, di suatu malam saya asyik mencari barang jualan online di marketplace. Dari sekian banyak barang yang dijual itu, tidak ada satupun yang menjual waring. Menurut hasil analisa sementara saya, para petani membutuhkan waring untuk keperluan pagar kebun sayur atau yang lainnya. Waring sendiri merupakan anyaman yang terbuat dari plastik nilon, biasanya digunakan sebagai pagar perkebunan untuk menghalangi hewan pemangsa tanaman.

Ide itu berbuah manis. Bermodalkan facebook, saya lalu memasarkan waring di marketplace. Dari satu roll (100 meter) waring, saya meraup untuk Rp 200.000. Sayangnya, permintaan waring fluktuatif sifatnya karena tidak semua petani membutuhkan itu. Saya hanya berhasil menjual 5 roll selama dua bulan dan setelah itu berhenti.

Beberapa bulan setelahnya, saya ditawari untuk menjadi reseller obat herbal. Perusahaan penjual obat ini berafiliasi dengan lembaga pelatihan digital marketing. Merasa tertarik dengan tawaran tersebut, saya akhirnya mendaftar menjadi member dan membayar biaya pendaftaran sebesar Rp 450.000. Namanya juga bisnis, pasti butuh modal.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline