Salah satu amanat dari putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 36/PUU-X/2012 yang menjadi dasar pembubaran Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas) ketika itu adalah agar pembentuk undang-undang segera melakukan penataan kembali pengelolaan Migas Indonesia dengan mengedepankan efisiensi yang berkeadilan dan pencegahan penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power). Hal itu didasari pertimbangan bahwa Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Migas berpotensi terhadap terjadinya inefisiensi dan penyalahgunaan kekuasaan, baik oleh pelaksana kegiatan usaha Migas maupun pemerintah sebagai pemegang kuasa pertambangan.
Dua tahun sudah sejak putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tersebut keluar, namun hingga saat ini belum ada tanda-tanda revisi ataupun pengganti undang-undang Migas akan selesai dalam waktu dekat. Kekhawatiran MK dan banyak orang akan penyalahgunaan kekuasaan/kewenangan pun telah terbukti dengan terang benderang, para petinggi di satuan kerja khusus pelaksana kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi (SKK Migas)-sebagai pengganti BP Migas-dan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) masuk dalam pusaran korupsi, bahkan juga melibatkan para oknum wakil rakyat di Senayan.
Banyak pengamat yang mengatakan bahwa sebenarnya praktek-praktek kotor telah lama berlangsung dalam pengelolaan Migas Indonesia, namun baru belakangan ini berani diungkap oleh penegak hukum, ini tidak terlepas dari cukup banyaknya pihak yang terlibat, terutama para oknum elit politik dan penguasa di negeri ini. Kasus-kasus yang terungkap dinilai hanya hanya merupakan puncak “gunung es” korupsi sistemik dalam pengelolaan Migas di Indonesia.
Kembali ke undang-undang Migas, bila dilihat lebih jauh ke belakang dalam Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) No.02G/DPR RI/II/2010, rancangan undang-undang (RUU) Migas masuk dalam daftar RUU program legislasi nasional (Prolegnas) jangka menegah (lima tahun), berada pada nomor urut 11 (sebelas), dengan keterangan bahwa RUU disiapkan oleh DPR. Secara berturut-turut mulai tahun 2010 hingga tahun2014 ini RUU Migas selalu masuk dalam Prolegnas setiap tahunnya, namun hinggga kini tidak juga kunjung selesai. Hal itu semakin menguatkan indikasi adanya orang-orang “kuat” yang berkepentingan untuk mempertahankan status quo pengelolaan Migas Indonesia.
Undang-undang Migas yang berlaku saat ini dari awal pembentukannya sudah menuai kontroversi karena semangat yang terkandung dalam undang-undang yang notabene produk masa reformasi tersebut justru adalah untuk meliberalisasi sektor Migas Indonesia yang sejak awal kemerdekaan telah dinasionalisasi dengan susah payah, apalagi ketika itu dengan kedatangan kembali tentara Belanda dalam agresi militer Belanda I dan II, pemerintah bersama Badan Keamanan Rakyat (BKR) dan rakyat harus menyabung nyawa untuk merebut dan mempertahankan kilang-kilang minyak yang ada.
Nasionalisasi Migas juga merupakan bagian dari amanat konstitusi Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, khususnya Pasal 33 UUD 1945. Secara inplisit Pasal tersebut menghendaki sumber daya alam (SDA) yang strategis bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikelola secara langsung oleh negara atau badan usaha yang dimiliki negara Indonesia. Fungsi pengelolaan adalah bentuk penguasaan negara pada peringkat pertama dan paling utama untuk mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Tafsir konstitusi tersebut sejalan dengan tulisan Mohammad Hatta dalam bukunya yang berjudul “Bung Hatta Menjawab”. Hatta yang notabene arsitek Pasal 33 UUD 1945 itu mengemukakan bahwa cita-cita yang tertanam dalam Pasal 33 UUD 1945 ialah produksi yang besar-besar sedapat-dapatnya dilaksanakan oleh negara. Pengelolaan SDA strategis oleh pihak asing atau swasta hanya dibenarkan apabila kondisi negara belum memiliki kemampuan atau kekurangan kemampuan, baik itu dalam modal, teknologi, dan manajemen. Artinya, pengelolaan cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak oleh asing atau swasta itu harus bersifat sementara waktu.
Akibat liberalisasi sektor Migas melalui UU No.22/2001 itu, maka terbukalah peluang besar kepada korporasi diluar Pertambangan Minyak Nasional (Pertamina) untuk leluasa merambah bisnis migas di Indonesia, baik itu di sektor hulu (eksplorasi dan eksploitasi) maupun di sektor hilir (pengolahan, pengangkutan, penyimpanan, dan niaga). Di sektor hulu, kuasa pertambangan (KP) yang sebelumnya diberikan kepada Pertamina sebagai badan usaha milik negara (BUMN) kemudian diberikan kepada BP Migas, lalu oleh BP Migas “dijual” bebas kepada para pelaku usaha. Penyerahan KP kepada koorporasi asing atau swasta tentu saja menghilangkan kedaulatan negara di dalam mengatur kegiatan pengelolaan dan pengusahaan Migas di sektor hulu. Walaupun BP Migas kini telah dibubarkan, tetapi itu tidak serta merta menyelesaikan persoalan karena semua kontrak kerja sama (KKS) yang telah ditandatangani antara BP Migas dan pelaku usaha harus tetap berlaku sampai masa berlakunya berakhir. Di sektor hilir lebih parah lagi, semuanya diliberalkan dengan mekanisme izin.
Dengan mekanisme seperti itu, terciptalah persaingan antar pelaku usaha Migas untuk mendapatkan izin dengan segala bentuk dan penamaannya. Beragam cara pun mereka tempuh untuk mendapatkannya, termasuk dengan menyuap pihak pemberi izin. Akibatnya kemudian mereka yang telah mengantongi izin menerapkan praktek-praktek usaha yang liberal guna mendahulukan kepentingan yang berorientasi pada maksimasi laba, padahal jelas-jelas sektor ini menguasai hajat hidup orang banyak, terutama soal harga.
Pemerintah sebagai pemberi izin pun nampaknya sudah ketagihan dengan mekanisme pasar tersebut, buktinya walaupun melalui putusan No.002/PUU-I/2003 MK telah menyarankan agar diterbitkan peraturan pemerintah untuk memberikan jaminan prioritas kepada badan usaha milik negara BUMN dalam pengusahaan Migas, namun itu tidak kunjung dilakukan pemerintah.
Masa jabatan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) 2014-2019 hanya tinggal beberapa hari saja lagi. Jika undang-undang Migas tidak berhasil disahkan oleh DPR periode ini, maka tentu kita sangat berharap pada DPR baru nanti agar bisa segera menggesa RUU Migas menjadi undang-undang, undang-undang Migas yang “merah putih” tentunya, yakni undang-undang Migas yang bisa mengembalikan kedaulatan Indonesia di bidang energi, undang-undang yang mengarahkan pada efektifitas dan efisiensi serta mencegah penyalahgunaan kewenangan oleh para stakeholder (pemangku kepentingan) di sektor Migas agar welfare state (negara kesejahteraan) Indonesia berangsur-angsur bisa diwujudkan. (Telah dimuat di harian Riau Pos, 6 September 2014).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H