Lihat ke Halaman Asli

Pesan dari Riau

Diperbarui: 18 Juni 2015   00:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pesan Dari Riau

Siklus lima tahunan pelantikan DPRD provinsi & kabupaten/kota pasca Pemilu yang dipercepat tahun 1999 selalu hampir berbarengan dengan tanggal peristiwa bersejarah di DPRD Provinsi Riau 29 tahun yang lalu, tepatnya 2 September 1985.

Sekedar mengingatkan, hari itu adalah hari pemilihan gubernur Riau ke-5 oleh DPRD Riau. Seperti biasanya, hampir semua orang sudah bisa menduga siapa yang akan terpilih, karena di zaman Orde Baru pemilihan hanyalah formalitas semata untuk melegitimasi calon yang harus terpilih. Imam Munandar, gubernur petahana ketika itu, kembali mendapat restu pusat (baca: Presiden Soeharto) dan tentu saja harus di ikuti oleh DPRD Riau, khususnya anggota Fraksi Karya Pembangunan dan Fraksi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia sebagai mesin politik penguasa kala itu yang dijadikan sebagai mayoritas di parlemen. Abdurrahman Hamid dan Ismail Suko di setting sebagai calon pelengkap untuk memenuhi ketentuan UU No.5/1974 yang mensyaratkan minimal tiga orang calon.

Namun, apa yang terjadi kemudian benar-benar diluar dugaan banyak orang. Ismail Suko, calon pendamping yang juga merupakan putra daerah Riau, justru mendapat perolehan suara terbanyak, yakni 19 suara dari 37 anggota DPRD yang hadir. Imam Munandar hanya mendapat 17 suara, dan Abdurrahman Hamid sesuai dengan skenario resmi memang hanya memperoleh 1 suara.

Mengapa terjadi “pembangkangan” seberani itu terhadap perintah penguasa yang terkenal menggunakan “tangan besi” ketika itu?. Setidaknya ada dua hal yang melatarbelakanginya, pertama: aspirasi masyarakat Riau yang cukup banyak menginginkan gubernur dijabat oleh putra daerah atau orang tempatan, bukan lagi kiriman pusat, karena mereka diyakini lebih paham dan peduli terhadap Riau. Kedua, ketidaksukaan terhadap gaya kepemimpinan Gubernur Imam Munandar yang dirasa tidak sesuai dengan yang dibutuhkan masyarakat Riau.

Walaupun kemudian pilihan mayoritas wakil rakyat itu tidak diamini pusat dengan dipaksanya Ismail Suko untuk mengundurkan diri, namun dalam konteks kekinian setidaknya ada dua pesan pula dari peristiwa itu, khususnya terhadap wakil rakyat masa kini. Pertama, wakil rakyat harus memiliki kemauan untuk menyerap aspirasi dari berbagai lapisan masyarakat. Kedua, harus berani memperjuangkan aspirasi itu, walaupun jabatan (bahkan nyawa) taruhannya. Selamat berbakti wakil rakyat 2014-2019.

(Telah dimuat di harian Riau Pos 2 September 2014)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline