Lihat ke Halaman Asli

Mendesak, Review UU TPPU

Diperbarui: 17 Juni 2015   22:44

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mendesak, Review UU TPPU

Lagi-lagi terjadi dissenting opinion (perbedaan pendapat) diantara para hakim ad hoc pengadilan tindak pidana korupsi terkait kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam melakukan penuntututan tindak pidana pencucian uang (TPPU). Sama seperti putusan terhadap mantan Presiden Partai Keadilan Sejahtera Luthfi Hasan Ishaaq, putusan terhadap mantan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum pada Rabu (24/9) kemarin juga diwarnai oleh dissenting opinion dari dua orang hakim yang berpendapat bahwa KPK tidak memiliki kewenangan dalam melakukan penuntutan TPPU.

Secara normatif, tidak ada masalah dengan dissenting opinion hakim tersebut, karena itu merupakan hak hakim yang dijamin oleh hukum. Namun, dalam upaya pencegahan dan pemberantasan TPPU, fenomena dissenting opinion hakim tersebut cukup mengkhawatirkan. Bila dalam dua putusan pengadilan tindak pidana korupsi (Tipikor) yang disebut diatas, hanya dua hakim dari lima anggota majelis hakim yang memiliki pendapat bahwa KPK tidak berwenang melakukan penuntutan TPPU, bisa jadi suatu saat nanti tiga orang atau lebih dari majelis hakim yang memiliki pendapat seperti itu (karena komposisi majelis hakim di setiap perkara tidak selalu sama). Jika hal itu sampai terjadi, maka pelaku TPPU dari hasil korupsi akan berpotensi lepas dari jerat hukum, atau setidaknya akan mendapatkan keringanan hukuman dari yang seharusnya.

Memang, pendapat berbeda kedua hakim itu cukup beralasan, sebab tidak ada satupun ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010tentang TPPU yang menyatakan secara ekspilisit bahwa KPK berwenang melakukan penununtutan terhadap TPPU, yang ada hanya kewenangan penyidikan sebagaimana pada Pasal 74 dan 75 UU No.8/2010, dan diperkuat oleh penjelasan Pasal 74 UU No.8/2010. Walaupun sebagian pihak berpendapat bahwa Pasal 75 UU No.8/2010 yang memerintahkan penggabungan penyidikan tindak pidana asal dengan TPPPU (dalam hal keduanya memilki bukti permulaan yang cukup) sudah cukup sebagai dasar hukum bagi KPK untuk melakukan penuntutan TPPU, karena tidak mungkin undang-undang TPPU memberikan kewenangan pada KPK untuk menggabungkan penyidikan, tanpa kemudian berwenang untuk melakukan penunututan dihadapan pengadilan melalui penuntut umum KPK yang notabene berasal dari Kejaksaan.

Selain itu, penggabungan penyidikan yang kemudian dilanjutkan dengan penuntutan juga dianggap sebagai pengejawantahan salah satu asas penyelenggaraan kekuasaan kehakiman sebagaimana termaktub dalam Pasal 2 ayat (4) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang mengamanatkan peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat, dan biaya ringan. Penjelasan Pasal 4 UU No.48/2009 tersebut menyebutkan bahwa yang dimaksud “sederhana” adalah adalah pemeriksaan dan penyelesaian perkara dilakukan dengan cara efesien dan efektif. Kalau tindak pidana asal dan TPPU kemudian dipisah pada level penuntutannya, tentu saja akan menimbulkan inefisiensi dan inefektifitas.

Perbedaan penafsiran itu semakin menambah daftar kelemahan UU No.8/2010. Sebelumnya, seperti disebut oleh pihak KPK bahwa ketentuan pembuktian terbalik yang hanya dilakukan di persidangan, sebagaimana diatur pada Pasal 77 dan 78 UU No.8/2010, juga menjadi salah satu kelemahan UU TPPU. Ketentuan pembuktian terbalik yang hanya dilakukan ketika seseorang telah berstatus sebagai terdakwa TPPU di persidangan menimbulkan kesulitan bagi penuntut umum untuk kembali membuktikan sebaliknya dari pembuktian oleh terdakwa karena keterbatasan waktu persidangan.

Selain itu, keberadaan Pasal 7 ayat (2) huruf d UU No.8/2010 berupa salah satu ancaman sanksi tambahan terhadap koorporasi yang terlibat pencucian uang, yaitu pembubaran dan/atau pelarangan koorporasi juga berpotensi salah penggunaan. Ketentuan ini bisa ditafsirkan berlaku bagi semua jenis koorporasi, padahal untuk koorporasi tertentu telah diatur sebelumnya bagaimana ketentuan tentang pembubaran atau pelarangannya. Partai politik misalnya, mekanisme pembubaran atau pelarangannya oleh negara telah diatur dalam undang-undang tentang partai politik, juga dalam undang-undang tentang Mahkamah Konstitusi, bahkan dalam konstitusi Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Artinya, UU No.8/2010 tidak saja berpotensi mereduksi undang-undang lainnya, tetapi lebih dari itu berpotensi mereduksi UUD 1945 sebagai tertib hukum tertinggi di Indonesia. Dengan menggunakan UU TPPU akan lebih mudah bagi pihak tertentu untuk “menggiring” pada pembubaran suatu perserikatan. Padahal kebebasan berserikat oleh sebagian ahli digolongkan sebagai bagian dari hak asasi (natural rights) yang bersifat fundamental dalam peri kehidupan bersama umat manusia.

Oleh karenanya sebelum timbul hal-hal yang tidak di inginkan dalam upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang, review terhadap UU No.8/2010 mendesak perlu segera dilakukan. Idealnya ialah melalui legislative review berupa perubahan undang-undang yang melibatkan Dewan Perwakilan Rakyat dan pemerintah. Namun, mengingat proses pembentukan undang-undang tidak bisa diselesaikan dalam waktu yang singkat, ada baiknya terlebih dahulu ditempuh jalur executive review oleh pemerintah melalui peraturan pemerintah pengganti undang-undang atau melalui judicial review di Mahkamah Konstitusi untuk menjamin terciptanya kepastian hukum yang berkeadilan sebagaimana diamanatkan konstitusi Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline