Lihat ke Halaman Asli

Wilfrida Oktavia

just a little girl

Laki-Laki Kok Pakai Rok? Emang Boleh?

Diperbarui: 7 Maret 2022   21:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Masa sih laki-laki butuh feminisme? Kata feminis tentunya saat ini sudah tidak asing lagi di telinga kita, mungkin bagi sebagian orang memahami kata feminisme ini hanya ditujukan untuk kaum perempuan saja, namun kenyataannya feminisme sendiri merupakan suatu gerakan dari kaum perempuan untuk menuntut kesetaraan atau kesamaan dan keadilan hak dengan kaum pria (Rokhmansyah, 2016), jadi bukan berarti feminisme ini hanya memperjuangkan hak perempuan saja dan menyingkirkan hak laki-laki. Pada buku yang berjudul Maskulinitas : Culture, Gender and Politics in Indonesia karya Marshall Clark diceritakan bahwa di awal tahun 2006, terjadi perdebatan sengit dari masyarakat dan media Indonesia terutama dari kelompok Muslim karena adanya rumor munculnya majalah Playboy Amerika versi Indonesia. Perdebatan tersebut menimbulkan aksi demonstrasi yang ditandai dengan pembakaran bendera dan majalah, plakat anti-Barat, ancaman tindakan hukum dan berakhir dengan penghancuran kantor majalah Playboy Jakarta. Penyebab majalah ini menjadi perdebatan sengit dikarenakan isi dari majalah Playboy dianggap mengandung unsur pornografi sehingga Erwin Arnada sebagai editor majalah Playboy dipanggil ke Pengadilan Negeri Jakarta untuk memenuhi panggilan atas tuduhan menerbitkan materi majalah yang tidak senonoh. Namun, pada kenyataannya edisi pertama dari majalah Playboy ini tidak ada unsur pornografi seperti ketelanjangan, dan majalah ini juga cukup laku di pasaran.

Dengan munculnya majalah Playboy di Indonesia ini, terjadi kekhawatiran dari kaum Muslim sehingga muncul gagasan tentang Rancangan Undang-Undang Anti Pornografi dan Pornoaksi yang bertujuan untuk mengatur produksi, distribusi dan konsumsi pornografi di Indonesia. Beberapa contoh pornoaksi yang dimaksud dalam RUU tersebut seperti ketelanjangan, tarian erotis, berciuman di depan umum dan mengenakan pakaian tertentu. Berbicara mengenai pakaian, di zaman yang semakin modern ini pakaian sendiri seperti tidak memiliki gender, contohnya seperti laki-laki yang memakai rok atau heels. Hal tersebut sebenarnya sudah ada sejak zaman dahulu, namun di mata masyarakat saat ini itu merupakan hal yang menyimpang dari kodrat laki-laki yang di mana seorang laki-laki harus berpenampilan maskulin bukan feminim.

Di Indonesia saat ini tak jarang masyarakat yang masih berpikiran bahwa feminismee itu hanya keegoisan kaum perempuan untuk mendapatkan haknya dan mengesampingkan hak laki-laki, kenyataannya dalam hal berpakaian saja laki-laki masih tidak mendapatkan kebebasannya, masih banyak stigma-stigma yang muncul ketika laki-laki berpakaian menggunakan rok, heels, atau memakai tas perempuan, biasanya jika ada laki-laki yang berpakaian seperti itu masyakarat memberikan stigma yang buruk seperti "dia pakai rok pasti bencong", "pasti suka sama laki-laki juga". Stigma-stigma buruk dari masyarakat yang seperti itu biasanya diberikan ketika mereka hanya melihat dari luar saja tanpa mengetahui lebih jauh orang tersebut atau bisa dibilang "liat dari covernya". Beberapa artis atau influencer yang sudah membuktikan bahwa pakaian itu tidak memiliki gender seperti Jefri Nichole, Keanuagl, dan Harry Style yang sempat berpose menggunakan pakaian wanita atau perhiasan wanita dan diunggah di akun media sosial mereka. Tentunya menimbulkan komentar yang positif dan negatif, namun tak sedikit juga yang memberikan mereka pujian karena mereka sudah berani tampil beda. Menurut saya, pakaian tidak dimiliki oleh salah satu gender saja, melainkan milik semua gender dan semua orang berhak mendapatkan kebebasan dalam berpakaian karena itu merupakan salah satu bentuk dari eskpresi diri kita. Bukan hanya perempuan saja yang butuh kebebasan dalam berpakaian, tetapi laki-laki juga membutuhkan kebebasan dalam berpakaian tanpa takut mendapatkan stigma yang buruk dari masyarakat, itulah mengapa kaum laki-laki juga butuh feminisme. Dan juga, dengan melihat laki-laki memakai rok atau menggunakan perhiasan, kita tidak bisa dengan begitu saja menilai orientasi seksual seseorang. Hal tersebut yang perlu kita pahami kepada sesama kita untuk menghargai satu sama lain dan tidak bersikap diskriminasi hanya dengan orientasi seksual.

DAFTAR PUSTAKA

C. Marshall. (2010). Maskulinitas : Culture, Gender and Politics in Indonesia. Monash Asia Institute.

Rokhmansyah, A. (2016). Pengantar Gender dan Feminisme Pemahaman Awal Kritik Sastra Feminisme. Yogyakarta: Penerbit Garudhawaca.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline