Lihat ke Halaman Asli

Macet

Diperbarui: 8 Agustus 2016   12:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Siapa yang tak tahu, kalau lampu merah mengharuskan kita  berhenti
Tapi sering  ku terabas dia dengan paksa  meski “kadang” sedikit  terpaksa.
"Kadang" kataku, ini bila ada yang memepetku hingga ku terdesak dan berbohong,
Tapi sering juga  ku langgar dia, karena ketidaksabaranku menunggu, ada malas, dan tak perduli bermain disana.

Lalu jalan hidupku macet
Saat disiplin dan semangat, terjebak tak bisa jalan,
akibat ulahku membiarkan malas menyelong bebas,
lalu abai ikut-ikutan, tak perduli, mau menang sendiri, tak pikir panjang semua  berkonvoi  
meminta jalur prioritas, seperti  pejabat elite atau ambulan saja lagaknya.

Lalu rejekiku seret,
dengan segala keruwetan dari sikap mengemudiku yang ugal-ugalan. 

Juga keragu-raguan, kerisauan, ketidaktegasanku dalam mengambil sikap dan keputusan di perempatan jalan.
Lampu kuning sudah menghijau dan aku masih terdiam tak tahu hendak berbelok ke kiri atau ke kanan.

Macet, semerawut, kusut
Bukan karena rambu jalan tak berfungsi
Namun karena aku tak mematuhi hukumku sendiri

Kini aku menepi, mengatur lagi semua laju hati dan emosiku
Semoga kemacetan tak lagi menghambat, bila ku patuhi dia dengan penuh kesadaran.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline