Lihat ke Halaman Asli

Iden Wildensyah™

Senang jalan-jalan, menulis lingkungan, dan sesekali menulis ide yang muncul tentang pendidikan kreatif. Temui saya juga di http://www.iden.web.id

Rethinking Konsep Green!

Diperbarui: 26 Juni 2015   08:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

12988831511056073905

Life is like riding a bicycle – in order to keep your balance, you must keep moving” (Albert Einstein) [caption id="attachment_93660" align="alignright" width="300" caption="Rethinking! (image rethinking.co.uk)"][/caption] Menarik untuk melihat segala sesuatu dari sisi lain, rethinking adalah sebuah proses membuka pandangan seseorang atau kelompok untuk melihat keseluruhan kemungkinan yang bisa terjadi dalam suatu persoalan yang menjadi perhatian khalayak. Jangan pernah berasumsi secara linear terhadap setiap kasus yang anda dalami. Seperti kita ketahui secara umum bahwa gerakan kembali ke alam untuk mendapatkan kualitas hidup yang lebih baik dan peduli terhadap lingkungan belakangan mulai banyak kita temui di Indonesia walaupun dalam skala yang terbatas dan belum menjadi gerakan yang luas di masyarakat. Hal ini disebabkan belum banyaknya informasi yang mudah di mengerti dan mudah untuk diakses oleh masyarakat luas. Persoalan lingkungan menjadi persoalan yang terlalu rumit untuk dipikirkan dalam tataran kehidupan sehari-hari. Untuk itu sudah menjadi tugas kita semua untuk dapat menarik pemahaman lingkungan yang serba rumit itu menjadi pemahaman yang lebih sederhana untuk lebih dapat difahami oleh semua orang. Kedekatan informasi lingkungan dengan pengalaman sehari-hari menjadi penting karena akan mampu menjadi cara pandang yang bisa dipakai setiap hari menjadi cara bertindak yang lebih peduli kepada lingkungan termasuk terhadap kesehatan diri sendiri. Beberapa orang terjebak dalam slogan green, ada kesan memaksakan masuk dalam kategori Green padahal sebenarnya ujung-ujungnya adalah market yang besar jika produk diklaim ramah lingkungan. Produk ramah lingkungan, demikianlah fokus utama dalam beberapa dekade ini. Isu lingkungan seperti pemanasan global karena efek rumah kaca, anomali cuaca, banjir, kekeringan dan banyak lagi isu-isu lingkungan yang sudah terbukti melanda sebagian dunia. Isu lingkungan ini semakin menyadarkan tentang pentingnya menjaga lingkungan. Berbagai cara dilakukan, dari mulai kampanye lingkungan yang sederhana sampai pada tingkatan praktis dalam penciptaan produk-produk ramah lingkungan. Dalam dunia konstruksi, kontruksi yang ramah lingkungan semakin gencar di kampanyekan. Seperti green building, green construction dan green product. Praktisi dunia konstruksi menyikapi dengan berbagai cara, sebagian ada yang terjebak dalam slogan untuk mengejar market tanpa bisa memberikan edukasi dari konsep green-nya itu sendiri, sebagian lagi benar-benar mengaplikasikan konsep ramah lingkungan dalam beberapa product yang dihasilkannya. Konsep Green seperti green company sudah menjadi tuntutan bisnis di masa sekarang. Bagaimana sebuah perusahaan menjalankan bisnisnya dengan berorientasi pada laba (profit), masyarakat dan pekerja (people) dan lingkungan (planet) menjadi topik hangat saat ini. Kian tingginya kesadaran masyarakat dan pelaku bisnis untuk menyeimbangkan antara menjalankan bisnis tanpa melakukan perusakan lingkungan memberikan efek positif. Banyak perusahaan berduyun-duyun menerapkan konsep green company dalam proses bisnisnya. Implementasinya, bisa dalam bentuk produk yang ramah lingkungan (green product), penggunaan teknologi ramah lingkungan (green technology), maupun dalam proses produksi yang ramah lingkungan (green process). Ekolabel Bagi beberapa pihak, green tetap saja market yang besar untuk mendongkrak penjualan. Misalnya, tempelkan label green pada sebuah produk atau kampanyekan melalui leaflet bahwa produk tersebut ramah lingkungan, maka secepat itu orang-orang bisa menangkap sebagai produk ramah lingkungan. Padahal ada, ketentuan ekolabeling, Tujuan dan Manfaat Ekolabel adalah sebagai berikut:

  • Ekolabel dapat dimanfaatkan untuk mendorong konsumen agar memilih produk-produk yang memberikan dampak lingkungan yang lebih kecil dibandingkan produk lain yang sejenis. Penerapan ekolabel oleh para pelaku usaha dapat mendorong inovasi industri yang berwawasan lingkungan. Selain itu, ekolabel dapat memberikan citra yang positif bagi ‘brand‘ produk maupun perusahaan yang memproduksi dan/atau mengedarkannya di pasar, yang sekaligus menjadi investasi bagi peningkatan daya saing di pasar.
  • Bagi konsumen, manfaat dari penerapan ekolabel adalah konsumen dapat memperoleh informasi mengenai dampak lingkungan dari produk yang akan dibeli/digunakannya. Karena kepentingan tersebut, konsumen juga memiliki kesempatan untuk berperan serta dalam penerapan ekolabel dengan memberikan masukan dalam pemilihan kategori produk dan kriteria ekolabel. Penyediaan ekolabel bagi konsumen juga akan meningkatkan kepedulian dan kesadaran konsumen bahwa pengambilan keputusan dalam pemilihan produk tidak perlu hanya ditentukan oleh harga dan mutu saja, namun juga oleh faktor pertimbangan lingkungan.

Prinsip - Prinsip Ekolabel Produk yang diberi ekolabel selayaknya adalah produk yang dalam daur hidupnya mulai dari pengadaan bahan baku, proses produksi, pendistribusian, penggunaan, dan pembuangan setelah penggunaan, memberi dampak lingkungan relatif lebih kecil dibandingkan produk lain yang sejenis. Ekolabel akan memberikan informasi kepada konsumen mengenai dampak lingkungan yang ada dalam suatu produk tertentu yang membedakannya dengan produk lain yang sejenis. Ukuran keberhasilan ekolabel dapat dilihat dari adanya perbaikan kualitas lingkungan yang dapat dikaitkan langsung dengan produksi maupun produk yang telah mendapat ekolabel. Selain itu, tingkat peran serta dari kalangan pelaku usaha dalam menerapkan ekolabel juga menjadi indikator penting keberhasilan ekolabel.. Selain melihat bahan baku, sejumlah akolabel yang diberlakukan suatu negara (buyers) juga memerhatikan proses pembuatan serta kemampuan produk tersebut didaur ulang. Setiap ekolabel itu ada kriteria masing-masing. Bahkan, jenis bahan bakar apa yang digunakan serta proses limbahnya diolah seperti apa juga menjadi pertimbangan buyer membeli sebuah produk. Hal yang sangat prihatin ketika kita ingin mengkritik soal ramah lingkungan khususnya di bidang industri otomotif, karena kehidupan masyarakat yang paling dekat adalah berhubungan dengan persoalan “polusi asap” dari kendaraan bermotor. Coba saja sejenak lihat ke jalan umum, ada banyak kendaraan bermotor, antara lain jenis bis kota, angkot dll yang kesemuanya menghasilkan asap tebal, pedih di mata, dan rasa mual ketika kita menghirup asap polusi tersebut. Rethinking! Definisi rethinking itu menarik, kita coba lihat ini: re•think (rē t̸hiŋk′), transitive verb rethought -•thought′, rethinking -•think′•ing : to think over again, with a view to changing; reconsider. Rethink vb [riːˈθɪŋk] -thinks, -thinking, -thought: to think about (something) again, esp with a view to changing one's tactics or opinions. Rethinking adalah sebuah proses membuka pandangan seseorang atau kelompok untuk melihat keseluruhan kemungkinan yang bisa terjadi dalam suatu persoalan yang menjadi perhatian khalayak. Jangan pernah berasumsi secara linear terhadap setiap kasus yang anda dalami. Cara pandang komprehensif memang akan melelahkan karena diperlukan wawasan dasar yang cukup dan energi yang besar untuk dapat menekuninya, sampai suatu saat anda bisa secara sistematis. Misalnya begini, ada satu pemikiran bahwa untuk menjaga hutan, salahsatu strateginya adalah menghindari ladang berpindah, benarkah konsep ladang berpindah itu salah dan harus dihindari? Pada awalnya justru dengan konsep ladang berpindah alam atau hutan menjadi seimbang karena terjadi pergantian unsur hara secara berkala. Atau misalnya sebuah produk diklaim ramah lingkungan, tetapi benarkah ramah lingkungan sejak dari produksi hulu? Sampah, yah.. salah jika mengatakan sampah tidak produktif. Sebagian orang sudah menggunakan sampah yang masih layak untuk dijadikan bahan berguna lainnya. Kemudian, salahsatu yayasan di Bandung sedang mengkampanyekan bahwa kita harus memikirkan ulang tentang membuang sampah pada tempat tetapi perlakukan sampah dengan baik. Kemudian semaksimal mungkin membuat kondisi tidak “menyampah”. Dan masih banyak lagi hal-hal yang menjadi perhatian serta konsep green yang harus dipikirkan ulang. Ingat jangan terjebak pada slogan, dan pseudo green yang menghinggapi banyak produk dan kegiatan. Green adalah semangat, green adalah spirit untuk kembali lebih peduli pada lingkungan, kembali memperhatikan keseimbangan lingkungan dan memperhatikan dampak dari setiap perilaku yang kita perbuat terhadap lingkungan. Siasat Seperti globalisasi yang harus disiasati, resep jitu yang dikemukakan oleh Joseph E. Stiglitz, penerima Nobel bidang ekonomi, untuk mengatasi dampak negatif globalisasi. Demikian juga dengan perubahan lingkungan, serta konsep-konsep green yang ada. Atau misalnya seperti kata Gerlorfd Nelson dalam Catalyst Conference Speech University of Illionis, 1990 “Jika ingin mengubah negara untuk kegiatan - kegiatan yang sulit tentang persoalan kebijakan politik, pencinta lingkungan menjadi sumber kekuatan dengan apa saja dapat dilakukan. Jika anda ingin mempunyai negara untuk kepentingan ekonomi, pikirkan diri anda dan generasi anda yang akan datang, saya yakin anda dapat melakukannya“. Rethinking Green menantang anda dengan paradigma baru untuk menyelesaikan masalah-masalah lingkungan, mendorong diskusi tentang bagaimana cara terbaik untuk "memanusiakan" kebijakan lingkungan, dan mengilhami pembuat kebijakan untuk mencari alternatif efektif untuk birokrasi lingkungan. Sebagai epilog, saya suka dengan pemikiran Gandhi bahwa keserakahan kita yang menyebabkan bumi menjadi rusak, juga dengan pemikiran sederhana Arne Naess seorang filsuf lingkungan “Not Having but being “, “simple in mean but rich in end and values “, High quality of life, yes ! high standard living maybe yes maybe no”. (Iden Wildensyah / Berbagai Sumber) Ada buku yang menarik tentang Rethinking Green ini: Re-Thinking Green Alternatives to Environmental Bureaucracy Edited by Carl P. Close, Robert Higgs

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H



BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline