Lihat ke Halaman Asli

Iden Wildensyah™

Senang jalan-jalan, menulis lingkungan, dan sesekali menulis ide yang muncul tentang pendidikan kreatif. Temui saya juga di http://www.iden.web.id

Presiden di Multi Tafsir

Diperbarui: 26 Juni 2015   11:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Ada yang salah dengan cara penyampaian Presiden tentang Daerah Istimewa Yogyakarta. Logikanya jika benar, tafsiran para pendengar tidak akan bermacam-macam. Julian Adrian Pasha, juru bicara Presiden menulis di kompas jumat 03 Desember 2010. Isinya mengatakan bahwa masyarakat salah tangkap terhadap isi pidato Presiden tersebut. Alih-alih mendukung keistimewaan Yogyakarta, yang muncul di masyarakat justru Presiden mempertanyakan atau dalam arti kerasnya, menggugat sistem monarki di Yogyakarta.

Tafsir yang berkembang dari pidato Presiden adalah sistem monarki dalam demokrasi itu tidak baik. Pun dengan saya, menganggap bahwa Presiden seolah mau mengganti sistem monarki di Yogyakarta dengan demokrasi. Digantinya monarki dan beralih ke demokrasi, berarti siapa saja bisa menjadi Gubernur Yogyakarta. Siapa saja dipersempit menjadi yang punya uang, punya barisan masa dan kekuatan lobi pada Presiden kuat, dialah yang akan menjadi Gubernur.

Tentang kesalahan tafsir ini, ada dua orang yang menarik. Di satu sisi menafsirkan Presiden menggugat monarki, di sisi lain menafsirkan seolah Presiden menawarkan solusi terbaik. Simak saja dua pernyataan yang dimuat di harian Pikiran Rakyat (4/12/2010. Pertama tafsir Anhar Gonggong, Sejarawan Universitas Indonesia, ''Saya kaget ketika Presiden mempersoalkan masalah ini. Kan tidak berarti ketika Yogya diberikan hak istimewa, tidak jadi demokrasi. Ada kesalahan tafsir Presiden tentang bagaimana meletakan sebuah kerajaan dalam kerangka Republik''

Tafsir satu lagi dari Didi Irawadi Syamsudin, Anggota Komisi III DPR RI yang mengatakan ''Ini sudah dipolitisir keadaannya. Kalau kita simak secara utuh pidato Presiden, menjelaskan bahwa SBY ingin menawarkan solusi terbaik untuk keistimewaan DIY, dengan mempertimbangkan aspek histori, budaya dan aspek lainnya, agar memberikan manfaat''.

Kalau komentar kedua, hmmm saya anggap dia bukan rakyat. Dia wakil pemerintahan juga. Refresentasi pemerintah di DPR. Bandingkan tafsir yang sejalan dengan Anhar Gonggong dan tafsir yang sejalan dengan Didi Irawadi. Di kompasiana, saya melihat rata-rata setuju dengan tafsir Anhar Gonggong.

Kesalahan Komukasi

Saya bukan ahli komunikasi seperti Efendi Gazali, tetapi saya mengetahui makna penting dari sebuah komunikasi. Komunikasi yang efektif salahsatu cirinya adalah pesan yang disampaikan jelas. Orang yang mendengar tidak menjadi kebingungan akan isi dari pesan yang hendak disampaikan.

Barangkali inilah kegagalan Presiden dalam membangun komunikasi yang baik. Presiden terbukti membuat banyak tafsir berkembang dimasyarakat. Pesan yang disampaikannya tidak sampai. Jika tidak sampai, multi tafsir, berarti Presiden belum bisa menyampaikan sesuatu dengan jelas kepada masyarakat. Pesan yang disampaikannya membuat kontroversi.

Multi tafsir ini, digambarkan pula dalam komik panji koming. Sosok kartun yang menggambarkan juru bicara sang adipati (Presiden) mengatakan ''tergantung hasil pembicaraan dengan wakil rakyat, tunggu saja kalian jangan salah tafsir''. Di sentil oleh panji koming ''Kalau ngomong jangan muter-muter bikin bingung melulu''.

Memang benar, mungkin kita harus menaturalisasi Presiden dari luar yang bisa memimpin Indonesia jika Presiden yang sekarang ternyata tidak mengerti komunikasi.

Oh iya satu hal lagi yang penting, bisa jadi catatan ini juga membuat multi tafsir. (Iden Wildensyah)




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline