Lihat ke Halaman Asli

Iden Wildensyah™

Senang jalan-jalan, menulis lingkungan, dan sesekali menulis ide yang muncul tentang pendidikan kreatif. Temui saya juga di http://www.iden.web.id

Efektif Naik Motor

Diperbarui: 26 Juni 2015   15:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

[caption id="attachment_151226" align="alignright" width="199" caption="Pengendara Sepeda Motor (www.kabarindonesia.com)"][/caption] Pada awalnya saya sangat anti naik motor, selain trauma kecelakaan yang pernah menimpa saya waktu kecil dibonceng orang lain, juga merasa motor itu tidak aman. Saya lebih memilih naik angkot atau bis kota atau jalan kaki sekalian kesana kemari daripada naik motor. Saya memilih angkot dan bis kota atau jalan kaki karena merasa sering mendapatkan banyak ide untuk menulis, berbeda dengan naik motor yang selalu berlari kencang melewati moment-moment indah selama perjalanan. Naik motor di Jakarta apalagi, sudah panas, debu, polusi, asap kendaraan harus bersaing dengan oksigen yang memasuki jalur pernafasan kita. Polusi itu menjadi momok yang menakutkan jika sudah masuk pembuluh darah, bersiaplah untuk impoten atau gangguan kehamilan karena polusi udara kata Prof Dr.Otto Soemarwotto (Alm). Saya katakan kepada teman saya ketika kerja di Jakarta dan anti sepeda motor adalah tidak aman, yah sepeda motor tidak aman, saya katakan juga, sepeda motor tidak aman karena tidak memakai sabuk pengaman, beda dengan mobil, sejuk dan aman dari gangguan luar seperti polusi dan terik matahari. Saya sangat anti motor di Jakarta, saya tidak berani bawa motor di kota Jakarta. Tetapi kenyataan itu berbanding terbalik ketika balik ke Bandung, motor ternyata kendaraan favorit yang siap mengantar kesana kemari. Jika dulu cukup dengan angkot dan bis kota, sekarang ternyata motor lebih efektif. Memakai kendaraan mobil di Kota seluas Bandung, rasanya terlalu 'riweuh', jaraknya tidak seberapa tapi waktu tempuhnya sangat lama. Sementara jika menggunakan sepeda motor, bisa nyelip-nyelip diantara kendaraan lainnya. Bahkan lebih enak lagi jika mengetahui jalur tikus lewat gang-gang yang tidak akan bersaing berebut ruang dengan kendaraan lain. Untuk urusan polusi, tinggal pakai syal saja, saya punya syal favorit sejak kuliah. Memakai nyaman dan gaya, mudah-mudahan polutan-polutan itu tersaring sebelum memasuki rongga saluran pernafasan saya. Begitu juga dengan sinar matahari, jika silau, gunakan saja kacamata hitam, untuk masalah terik sih tidak seganas Jakarta. Bandung teduh dan sejuk, walaupun pada beberapa kesempatan, panasnya Bandung tidak jauh berbeda dengan Jakarta. Resiko lainnya hanya banjir cileuncang, kalau banjir ini terjadi, jangan ambil pusing, bisa mencari alternatif jalan lain atau menerobos jika mampu dan ketinggiannya tidak begitu merepotkan mesin untuk terus berjalan. Kalau banjirnya tinggi, yaa cari saja jalan alternatif lain, toh tidak seluas Jakarta. Naik motor di Kota Bandung sekarang ternyata memang sangat efektif, hanya beberapa kesempatan saja menggunakan mobil, misalnya mengantar anak dan istri atau jalan-jalan bersama keluarga besar. Kasihan dibonceng harus berbaur dengan polusi udara. Kecuali mengenalkan dunia baru pada anak-anak, selama aman untuk di bonceng, saya bonceng saja, misalnya jalan ke Pondok Hijau, ke Jalan Setrasari dan ke Gegerkalong sekedar main futsal.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline