Lihat ke Halaman Asli

Iden Wildensyah™

Senang jalan-jalan, menulis lingkungan, dan sesekali menulis ide yang muncul tentang pendidikan kreatif. Temui saya juga di http://www.iden.web.id

Belajar dari Bapak Lukman Ketua Adat Kampung Dukuh

Diperbarui: 13 Juli 2015   23:08

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

”Rapikan Manusia Dengan Alamnya" (Pak Lukman, Ketua Adat Kampung Dukuh)

[caption id="attachment_99592" align="alignleft" width="300" caption="Bapak Lukman (Ketua Adat Kampung Dukuh)/photo dok.pribadi"][/caption]

Bapak Lukman, usianya kurang lebih sekitar 60 tahun, masih terlihat segar bugar dan sehat. Bapak Lukman adalah ketua adat kampung dukuh,  saya beruntung pernah mewawancarai dia secara  pribadi ketika melakukan acara kunjungan ke tempat yang belum terjamah teknologi. Beliau menyampaikan pemikiran penting tentang pengelolaan hutan, berikut ini adalah intisari pemikiran beliau,

Bagaimana pengelolaan hutan menurut anda?

Harus ada sinergi antara pemerintah dengan masyarakat dalam mengelola hutan, jangan bekerja sendiri-sendiri. Lihat saja sekarang, ditanami oleh Perhutani di tebang lagi oleh masyarakat. Kalau begitu tidak akan lancar programnya, sekarang bagaimana caranya agar program pemerintah jalan dan masyarakat bisa mengelola. Harusnya pengelolaan itu dari anda untuk anda biayanya dari pemerintah, dijamin tidak akan rusak dan hasil hutan di kelola oleh pemerintah untuk menjadi uang. Kejadian sekarang, hutan tidak ada, biaya tidak ada otomatis terus saja mengambil yang ada tersisa di hutan.

Coba jika ditanami dengan kawung, tanami dengan cengkeh, tanami dengan bambu, bagikan oleh pemerintah. Adakan paku alam seperti kayu-kayu hutan. Kayunya menurut saya tidak akan dirusak karena akan sama-sama saling menjaga demikian juga dengan orang lain tidak akan berani ngambil karena sudah tahu. Kalau mengambil hasilnya tidak akan merusak seperti pemerintah.

Bagaimana dengan kampung dukuh?

Sebetulnya disini sudah ada prinsip mengembalikan hutan, sesepuh dari dulu sudah mengetahui segala sesuatunya akan terjadi ini itu seperti sekarang hutan dirusak, hutan adat, hutan pemerintah tetap akan rusak. Kenapa hal ini terjadi contohnya kalau ini hutan pemerintah menganut peraturan pemerintah sementara dari pandangan masyarakat, bahwa tanah negara itu untuk rakyat.

[caption id="attachment_99597" align="alignleft" width="300" caption="Saya bersama Pak Lukman menjelang pamitan (dok.pribadi)"][/caption]

Tujuan adat sekali lagi ingin melestarikan alam, sumber alam. Kami selalu mencoba merapihkan dengan alam, karena kalau manusia tidak dirapikan dengan alamnya maka tidak akan beres, harus ditegaskan bahwa sumber alam sumber kehidupan manusia. Sumber alam itu salah satunya pertanian, semuanya kembali dari alam, kebiasaan di kita pada umumnya bertani berarti mengelola darat dan air. Mengelola darat melalui contohnya yang ada didarat seperti leuweung tutupan, semuanya wajib mematuhi masyarakat, perhutani. Dimana ada masyarakat yang merusak leuweung tutupan harusnya ada ganti untung bukan ganti rugi. Ada tanah tutupan ada tanah garapan, tanah garapan untuk cadangan merapikan masyarakatnya. Bila ada masyarakat memasuki tanah tutupan, seperti menggarap secepatnya diperingati, ”untuk anda untung tapi untuk orang lain merugikan” harus kembali lagi ke tanah garapan sebelum ada kerusakan lebih lanjut. Saya rasa tidak akan merusak lagi kalau sudah diberi tanah garapan dan diperjelas kerugian bagi orang lainnya. Saya perhatikan yang dilakukan pemerintah, ketika merusak langsung dicabut hak menggarapanya dan tidak diganti lagi.

Kendala dalam mengembalikan hutan?

Masalah di kami untuk mengembalikan hutan adalah tidak adanya modal, jujur saja, kalau ada, biasanya cepat bahkan semangat, mekanisme pengembaliannya melalui peraturan desa. Di desa kan ada MUI desa untuk penyuluhan. Kalau sudah terlihat hasilnya saya yakin masyarakat tidak akan mencari keluar, karena sudah ada hasil dari penanaman tersebut.

Harapan anda ke depan?

Saya tetap mau menjaga alam, apalagi dengan sudah masuknya pendatang-pendatang. Saya ingin menambah hutan walaupun adat tetap tidak mau merugikan masyarakat. Intinya kami tetap ingin hutan kembali. Luas hutan lindung saat ini sekitar 8 ha, karena sekarang penduduk bertambah keinginan kami menambah hutan untuk menopang kehidupan masyarakat.”

Sampai saat ini Bapak Lukman masih menjaga hutan dengan aturan adat yang kuat, bersama masyarakat kampung dukuh. Kesadaran bahwa alam adalah sumber hidup tetap menjadi sebuah pandangan yang harus disebarluaskan agar semua bisa peduli bahwa kita hidup dialam dan kita harus menjaga agar alam memberikan kehidupan bagi kita. (Iden Wildensyah)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline