Lihat ke Halaman Asli

Iden Wildensyah™

Senang jalan-jalan, menulis lingkungan, dan sesekali menulis ide yang muncul tentang pendidikan kreatif. Temui saya juga di http://www.iden.web.id

Wartel

Diperbarui: 26 Juni 2015   18:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Wartel.. Saya benar-benar harus mencari wartel (warung telepon) untuk mengirimkan Fax ke Yogyakarta karena Fax di rumah sedang tidak baik. Dimanakah wartel jaman sekarang? ah sudahlah, saya cari saja sambil jalan menuju kampus di Sekeloa. Dari informasi awal, ada wartel yang bisa fax di Simpang Dago, tepatnya di Jalan Dipati Ukur sebelah Rumah Makan Kapau, seberang Circle K.

Melajulah ke Kampus sambil mencari Wartel. Tanpa kesulitan berarti saya menemukan wartel yang dimaksud tepat seperti yang di informasikan sebelumnya. Wartel itu ada di dalam Rumah Makan Kapau, aroma masakan langsung menyergap saya, menyentuh saraf-saraf di hidung dan mengirimkan sinyal ke otak untuk makan. Di wartel itu terdapat dua telepon umum dan satu mesin Fax. Saya langsung menyapa salah seorang yang sedang sibuk menata makanan.

"Uda, saya mau kirim fax" kata saya

"Boleh, kemana dek?" kata penjaga yang merangkap pengelola Rumah Makan Kapau.

"Yogyakarta" kata saya sambil memberikan teks yang dimaksud.

Mesin berderit menandakan fax berjalan mengirim ke tujuan yang dimaksud. Sambil menunggu Fax, saya melihat sekeliling. Ada deretan rak buku, kata-kata motivasi yang dibingkai figura dan tentu saja makanan. Rak buku itu berisi buku-buku yang dijual, ada buku motivasi, ada buku pengetahuan dan buku-buku tentang Pariaman.

Kemudian, seorang mahasiswa masuk kedalam ruangan telepon umum, terdengar pembicaraan mungkin dengan dosennya. Saya tidak menyangka, masih ada yang menelepon dari Wartel. Awal tahun 1999, Wartel merajalela bahkan sampai ada asosiasi pengusaha wartel. Wartel menjadi tempat yang mengasikan untuk menghabiskan waktu menjelang malam setelah maghrib atau isya. Dan saya melewatinya dengan menelopon teman-teman juga "teman". Nelpon lokal adalah favorit karena biayanya sedikit dan waktunya lama. Saya melihat orang-orang sampai antri untuk menelepon di wartel. Saya pernah diketuk-ketuk karena keasikan nelpon. Lebih parah lagi, kalau beres nelpon di gerutuin karena kelamaan.

Di Wartel, saya pernah iseng, jailin teman. Sewaktu teman saya mengijinkan saya bicara dengan teman seberang telpon, saya sengaja panggil dengan nama berbeda. Misalnya nama aslinya Dini, saya panggil Maria, atau Nia saya panggil misalnya Desi, dlsb. Kontan saja teman saya marah-marah, tapi cuma sejenak koq. Soalnya di juga suka balik isengin saya.

Masuk lagi ke Wartel yang tadi, saya terkagum-kagum dengan wartel itu. Masih tegar bertahan ditengah semaraknya warnet dan handphone. Saya bersyukur masih menemukan wartel, karena tugas saya kirim Fax berhasil. Terima kasih, Uda!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline