Istilah guru dalam bahasa Arab yaitu ustadz, muallim, mursyid, murabbi, mudarris, dan muaddib. Istilah-istilah ini dalam penggunaannya memiliki makna-makna tertentu. Ustadz merupakan orang yang berkomitmen terhadap profesionalisme yang melekat pada dirinya sikap dedikatif, komitmen terhadap mutu, proses, dan hasil kerja, serka sikap continuous improvement. Muallim adalah orang yang menguasai ilmu dan mampu mengembangkannya serta menjelaskan fungsinya dalam kehidupan, menjelaskan dimensi teoritis dan praktisnya. Murabbi adalah orang yang memiliki kepekaan intelektual dan informasi, memperbarui pengetahuan dan keahliannya secara berkelanjutan, dan berusaha mencerdasakan peserta didiknya, memberantas kebodohan mereka, serta melatih keterampilan sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya. Muaddib adalah orang yang mampu menyiapkan peserta didik untuk bertanggung jawab dalam membangun peradaban yang berkualitas di masa depan. Namun ada satu hal yang merangkum semua istilah guru-guru tersebut, yaitu orang tua kedua. Dalam islam, kedudukan guru sangat istimewa, dan menurut Al Imam An-Nawawi "Sesungguhnya guru seseorang atau guru-guru seseorang di dalam ilmu adalah orang tua atau ayah dalam beragama." Perkataan Imam An-Nawawi tersebut menjadi sebuah kaidah di dunia para ulama. Para ulama mengatakan orang tua itu terbagi 2 yaitu orang tua nasab atau orang tua biologis dan orang tua agama yaitu guru kita. Para ulama membuat kesimpulan ini karena dalam hadis riwayat Abu Dawud, Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wassalam berkata, "Innama ana lakum bimanzilati al-walid u'allimakum (sesungguhnya saya bagi kalian kedudukannya seperti orang tua yang mengajarkan anaknya)." Nabi Muhammada Shallallahu 'alaihi wassalam mendidik dan mengajarkan kita ilmu yang bermanfaat untuk dunia dan akhirat.
Kedudukan guru dalam islam sangat istimewa. Guru tak lepas dari ilmu dan peserta didik. Ilmu sangatlah agung dalam islam. Buktinya adalah Allah tidak pernah memerintahkan Nabi-Nya untuk meminta tambahan selain ilmu, sebagaimana terdapat pada surat Thaha: 114, "Dan katakanlah, 'wahai rabb-ku, berikanlah aku ilmu'." Allah meninggikan derajat orang yang berilmu sebagaimana perkataan Allah dalam Q.S. Al-Mujaadilah ayat 11, "Hai orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah dalam majelis", maka lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu, maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan." Dari Q.S. Al-Mujaadilah ayat 11 tersebut dapat diketahui bahwa kedudukan guru sebagai orang berilmu dan beriman memiliki kedudukan yang lebih tinggi dibanding orang yang beriman saja. Orang yang berilmu memiliki keutamaan lebih tinggi dibanding ahli ibadah yang Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wassalam umpamakan seperti bulan di malam purnama atas semua bintang-bintang lainnya (HR. Tirmidzi: 2606). Bulan hanya satu namun cahayanya sampai ke bumi, sementara bintang-bintang jumlahnya lebih banyak namun kalah bermanfaat dibanding bulan.
Maka seharusnya kita memuliakan para guru-guru kita sebagaimana perlakuan Nabi Musa Alaihis salam terhadap Nabi Khadir yang tertulis dalam Q.S. Al-Kahfi. Ketika Nabi Musa ditanya oleh umatnya "Siapa orang paling pintar?" Nabi Musa menjawab bahwa aku yang paling pintar, namun Allah menegurnya bahwa Nabi Khidir lebih pintar. Kemudian Nabi Musa meminta Nabi Khidir untuk mengajarinya dengan merendah walau derajat Nabi Musa kedudukannya lebih tinggi dari Nabi Khidir.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H