Lihat ke Halaman Asli

Belenggu Demokrasi itu Bernama UU ITE

Diperbarui: 2 Desember 2016   04:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi Gambar: ekojuli.wordpress.com

Menanggapi berita-berita tentang revisi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) baik di koran maupun media sosial lainnya, membuat saya berpikir, pasalnya selama ini Indonesia menyebut dirinya sebagai negara demokrasi. Negara yang demokrasi yaitu negara yang rakyatnya mempunyai kekuasaan tertinggi di dalam suatu negara dan memiliki kesetaraan dalam mengambil keputusan yang dapat mengubah negaranya. Lalu apa yang terjadi di Indonesia sekarang?

Hal yang baru terjadi saat ini ketika kata demokrasi itu lambat laun akan terbelenggu dengan salah satunya diberlakukannya UU ITE yang baru pada tanggal 28 November lalu. Banyak menuai kritik dari berbagai kalangan yang merasa keberatan akan hal itu karena secara tidak langsung, masyarakat mempunyai keterbatasan untuk kebebasan berpendapat atau beropini di media sosial.

Masyarakat semakin dituntut beretika dalam berbicara terutama di ruang media sosial, bagi siapapun yang melakukan tuduhan, fitnah, SARA atau pencemaran nama yang bisa menimbulkan kebencian terhadap satu orang atau kelompok tertentu, hal ini bisa langsung dilaporkan kapan saja. Ini sama saja membuat perlindungan bagi pejabat kita yang benar-benar terbukti melakukan kesalahan, karena ini bisa menjadi salah satu benteng persembunyiannya.

Di dalam revisi UU ITE disebutkan bahwa ada empat poin yang telah direvisi menurut sumber dari Koran Sindo, yaitu:

1. Durasi hukuman penjara terkait pencemaran nama baik dikurangi menjadi dibawah lima tahun dari yang sebelumnya enam tahun.

2. Pencemaran nama baik saat ini berubah menjadi delik aduan, bukan delik umum, artinya proses hukum dilakukan jika ada pihak yang mengadukan kasus tersebut.

3. Mengatur tentang Right to be forgotten atau hak untuk dilupakan. di pasal 26 mengatur hak warga negara untuk dihapus informasinya dari dunia maya.

4. Untuk tersangka, selama masa penyidikan tidak boleh ditahan karena hanya disangka melakukan tindakan pidana ringan yang ancaman hukuman penjaranya dibawah lima tahun

Adapun contoh kasus yang pernah terjadi akibat melanggar UU ITE, salah satunya kasus yang baru ini menimpa Buni Yani. Dia ditetapkan menjadi tersangka karena telah mengunggah video pidato Ahok tentang penistaan agama yang dilakukan di Kepulauan Seribu. Hal ini juga terkait dalam pelanggaran pencemaran nama baik dan mengandung SARA, dengan ancaman enam tahun penjara atau denda paling banyak 1 miliar, sesuai dengan poin kedua di atas.

Menurut saya, hal revisi UU ITE justru tidak efektif karena masyarakat kita itu mayoritas sangat kritis. Mereka akan tetap bisa bebas berpendapat dengan memanfaatkan teknologi modern seperti sekarang ini. Dan juga selama ini masyarakat kita itu tidak hanya berpendapat dengan omong kosong belaka, mereka berbicara sesuai dengan fakta dan permasalahan yang benar terjadi, seperti kasus  Buni Yani. Bila etika berpendapat hanya melanggar etika adat, budaya dan kesopanan seharusnya tidak terlalu masalah karena sanksi yang didapat bisa hanya sekedar sanksi sosial.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline